Selasa, 11 Maret 2008

Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia

Pesatnya perkembangan pendidikan baik dalam lingkup kelembagaan yang ditengarai berbagai model dan keunggulannya maupun dalam lingkup politik dengan berbagai aturan perundangannya, kesemuanya berdalih mencari format dan alternatif yang paling tepat dalam menerapkan konsep pendidikan. Di tengah-tengah perkembangan pendidikan di Indonesia tersebut, tulisan Drs. Hujair AH. Sanaky, MSI. ini setidaknya dapat menjadi payung dan pewarna dalam mengembangkan dan menerapkan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu, buku ini setidaknya juga memberikan makna penting akan penerapan total quality management dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan Islam secara terus menerus. Buku ini sangat relevan dengan usaha-usaha meningkatkan kualitas pendidikan Islam, terutama dalam era otonomi daerah dan otonomi kampus.

Secara Subtansial buku yang berusaha membangun konsep masyarakat madani melalui pendidikan Islam ini memberikan pengertian bahwa Islam dalam usaha membangun umatnya, baik secara personal maupun sosial mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Secara lugas, pembaruan pendidikan Islam menuju Masyarakat Madani adalah membangun masyarakat beriman, berpengetahuan, berketerampilan, berkepribadian dan berakhlak, memiliki sikap demokrasi dan profesional dalam mewujudkan manusia dan masyarakat yang berkualitas, kreatif, inovatif dan mampu menterjemahkan serta meralisasikan nilai-nilai Islamiyah dalam perilaku sosial di tengah kehidupan masyarakat global.

Paradigma Pendidikan Islam dalam Masyarakat Majemuk

oleh : Samsuri

MSI-UII.Net - 5/10/2004

A. Pendahuluan

Kecenderungan kekerasan bernuansa agama, juga konflik etnik yang makin kental di beberapa bagian wilayah Indonesia, makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang dikenal sangat majemuk ini. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan sedemikian rupa. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.

Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif, dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat beriman terhadap umat yang berbeda keyakinan imannya (agamanya). Klaim kebenaran (truth claims) suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.

Berangkat dari pernyataan di atas, tulisan ini akan mengkaji beberapa persoalan yang berhubungan dengan pendidikan agama dalam masyarakat majemuk. Pertanyaan yang diajukan untuk persoalan tersebut adalah: Mengapa terjadi eksklusivisme dalam pendidikan agama? Bagaimana Islam mengajarkan kehidupan beragama dalam masyarakat majemuk? Tantangan apakah yang dihadapi pendidikan Islam untuk menciptakan generasi rahmatan lil'alamin, khususnya dalam konteks kehidupan umat manusia yang sangat plural? Bagaimanakah paradigma pendidikan Islam yang diperlukan dalam masyarakat majemuk?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan mengelaborasi sejumlah pemikiran baik dari kalangan Muslim maupun kalangan di luar Muslim. Sejatinya, penulis sendiri berpendirian bahwa selain menggali dari referensi pokok Islam, yaitu Qur'an dan Sunnah, juga perlu mengambil hikmah dari kearifan pemikiran umat manusia lainnya, tanpa membedakan perbedaan latar belakang bahasa, ras dan agama. Dengan demikian, tujuan agama rahmatan lil 'alamin dan implikasinya terhadap etos pluralitas dalam pendidikan Islam diharapkan dapat tercapai.

B. Sumber-Sumber Eksklusivisme

Eksklusivisme agam tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang melekat dari teks-teks suci agama oleh para pemeluknya. Eksklusivisme ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk pemahaman yang sering dimonolitikkan sebagai kebenaran tunggal, sehingga mengisolasi diri dari tafsir pemahaman keagamaan kelompok lainnya. Sifat isolasionisme ini menutup pintu-pintu dialog bagi setiap aneka wacana pemahaman (pemikiran) yang berbeda dengan apa yang dipahami satu kelompok agama dengan kelompok lainnya.

Rumusan yang lebih eksklusif dari sifat isolasionisme itu oleh intelektual Barat disebut dalam fenomena fundamentalisme agama. Istilah fundamentalisme merupakan sebuah kata yang kontroversial, karena banyak penyebutan para fundamentalis oleh pihak lainnya yang tidak akan menerima istilah tersebut untuk dilekatkan kepada mereka sendiri. Oleh Anthony Giddens (1999:49), dengan mengacu kepada kebenaran ritual, fundamentalisme adalah pembelaan tradisi dengan cara tradisional. Rumusan lainnya yang menekankan betapa fundamentalisme menampakkan wajah eksklusif yaitu karena ia terumus dalam konsep-konsep seperti otentisitas, skriptural, benar-sendiri (self-righteous), pemurnian (purity), keselamatan dan superioritas pengetahuan, sehingga mendorong orang yang dianggap other keluar dari falsafah kehidupannya (Moussalli, 1994: 88).

Sumber eksklusivisme agama itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari rumusan yang dianggap suci dari beberapa agama. Sebagai contoh seperti dalam Katolik Roma sebelum Konsili Vatikan II, yaitu "Extra Ecclesian nulla sakus" yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja (Kung, 1986: 23-24). Atau dengan kata lain, tidak ada keselamatan di luar penganut Kristen, kecuali ia mengikuti kekristenan itu sendiri. Dalam agama Yahudi, konsep "bangsa terpilih" (people chosen), seperti disebut dalam Kitab Eksodus (Keluaran) 19:5-6 dan Deutoronomi 10:14-15, membawa pengertian bahwa bangsa/umat manusia lain selain Yahudi adalah makhluk yang rendah, tidak dijanjikan keselamatan oleh Tuhan. Implikasinya adalah Tuhan agama Yahudi akan jatuh dalam bentuk rasisme (Pieris, 2001: 67).

Dalam Islam sendiri, konsep eksklusivisme agama sering dilihat dari penafsiran ayat Qur'an yang menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam (QS. 3:19), atau kalimat "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS. 3:185). Bahkan rumusan ayat lainnya menyatakan "…[J]anganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam" (QS. 3:102). Rumusan kalimat teks Qur'an itu sering membawa implikasi buruk ketika ditafsirkan secara naif untuk menghadapi kelompok agama/umat lainnya saat kepentingan-kepentingan bersifat imanen (ekonomi, politik, atau status sosial) terancam. Atau di antara sesama Muslim sendiri, ada penjustifikasian teks-teks Qur'an bahwa kelompok yang berbeda dapat dianggap "kafir" lantaran tidak sejalan dengan garis pemahaman keagamaan kelompoknya.

Klaim-klaim kebenaran atas teks suci agama itu, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan yang menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang katanya ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia kepada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan (keselamatan) itu sendiri. Dalam aras yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu nampak dalam sikap anti-dialog, isolasionis, dan antagonis baik kepada umat agama lain maupun terhadap sesama umat agamanya dari kelompok (mazhab) yang berbeda.

Dalam dunia pendidikan, sikap totalitarianisme klaim kebenaran menampakkan dirinya dalam bentuk pengakuan sendiri bahwa pendapat dirinya saja yang benar. Sikap memutlakkan satu pendapat sebagai satu kebenaran, menolak inovasi pemikiran baru, finalitas kebenaran, dogmatis dan anti dialog terhadap perbedaan pemikiran (pendapat), merupakan derivasi ciri-ciri lainnya.

Bagi penulis, "eksklusivisme" agama-agama merupakan sekadar suatu ciri identitas kelompok yang dianggap sebagai kewajaran sepanjang tidak saling menegasikan keberadaan indentitas kelompok lainnya yang masih ada dan tumbuh bersama-sama. "Eksklusivisme" agama merupakan sebuah keniscayaan untuk pencarian Realitas Tertinggi (Ultimate Reality), sehingga ia hanyalah sebuah khazanah antar-iman. Persoalannya, ekslusivisme agama menjadi terasa buruk ketika masing-masing kelompok agama yang berbeda saling berebut kebenaran. Dalam kehidupan sosial, "perebutan" kebenaran itu menimbulkan sikap prasangka, tidak toleran, dan kekerasan (fisik dan non-fisik).

C. Pandangan Islam tentang Pluralitas Agama

Di muka telah dikemukakan bahwa Islam memiliki eksklusivisme tersendiri, yang oleh penulis dianggap sebagai ciri identitas di antara agama-agama (keimanan) lainnya. Jika dicermati, teks Islam seperti dalam Qur'an itu sendiri mengakui keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Pengakuan eksistensi agama-agama lain dalam Islam merupakan prinsip toleransi Islam terhadap pluralitas agama. Prinsip toleransi Islam itu dapat disimak dalam QS. 10: 99 yang secara eksplisit menyatakan:

"Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Dari rumusan (terjemahan) ayat Qur'an itu nampak sekali bahwa dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan itu adalah kehendak Allah. Pada gilirannya, seseorang tidak punya hak untuk menghakimi benar-salah keyakinan seseorang, kecuali diserahkan semuanya kepada Allah semata. Karena Allah sajalah yang berhak memberikan hidayah dan jalanNya kepada siapapun (QS. 16: 125).

Islam juga mengajarkan sikap saling menghormati antara berbagai komunitas manusia beriman (QS. 6:108). Dalam kehidupan sosial, sikap ini ditunjukkan dengan sikap saling menolong/bekerja sama tanpa diskriminasi keyakinan dan perilaku yang salah.Di samping itu, Islam pun mengajarkan keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam dalam diri manusia, sehingga kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah (sunnatullah) dari prinsip tersebut. Keseluruhan ajaran Islam mengenai pluralitas agama itulah yang oleh Roy P.Mottahedeh (1996) dianggap sebagai prinsip "teologi toleransi" dalam Islam.

D. Paradigma Lama Menghadapi Pluralitas

Karakter Islam sebagai agama misi (dakwah) membawa konsekuensi penting dalam hubungannya dengan agama-agama lain yang telah ada. Sifat misionaris dalam Islam nampak antara lain dalam QS. 16:125 yang menyatakan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…." Metode seruan (dakwah) kepada Islam semacam itu membawa pengertian bahwa Allah memberi potensi kepada diri manusia untuk beriman. Persoalan ia mau mengikuti (beriman) Islam atau tetap menolak, maka itu semua diserahkan kembali kepada Allah. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. 16: 125).

Pernyataan tersebut di atas dikuatkan dengan penjelasan QS. 2: 256 yang menyatakan bahwa,

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. 2: 256).

Islam, yang dalam beberapa pengertiannya diartikan sebagai agama berserah diri kepada Tuhan (aslama), kesejahteraan atau kedamaian (salam), dan keselamatan (salim) (Rahardjo, 1996: 142), sering disalahpahami dan diperkenalkan secara distortif sebagai agama yang menolak pluralitas dan toleransi agama. Ini merupakan warisan generasi Perang Salib dan kolonialisme Eropa terhadap dunia Islam hingga pertengahan abad ke-20, yang hingga sekarang masih sulit dihapus dari memori kolektif masyarakat Barat-Kristen.

Pandangan terhadap agama lain, khususnya terhadap Abrahamic faiths, seperti Yahudi dan Nasrani (Kristen), teramat jelas bahwa Islam menganjurkan dialog antar iman. Tujuan dialog ini adalah agar setiap pemeluk bisa memperdalam iman masing-masing dan menyampaikan pengalamannya pada orang lain (Rahardjo, 1996: 151).

Sejarah Islam yang sempat diwarnai pertumpahan darah dalam silang bergantinya imperium Islam sejak suksesi kekuasaan empat khilafa ur-rashidin hingga akhir Khilafah Ottoman di Turki, memberi kesan bahwa Islam agama pedang, penuh kekerasan. Selain itu, dunia Islam yang sempat dijajah mengalami proses isolasi dalam proses pendidikannya, sebagai reaksi melawan pendidikan model kolonialisme, sehingga menolak apa-apa saja yang dianggap berbau Barat (Kristen,Eropa), seperti modernisasi dan teknologi modern. Ada semacam post-colonial syndrome di antara kaum Muslim, khususnya dalam pendidikan Islam yang pada gilirannya melanggengkan model-model kolonialisme ilmu, seperti dalam bentuk dikotomisasi antara ilmu dan agama, ada ilmu umum dan ilmu agama. Ada ilmu dunia dan ilmu akhirat, yang satu dan lainnya saling dikontraskan secara ideologis.

Dalam pendidikan Islam, prinsip finalitas kebenaran dari tafsir teks suci agama melahirkan bentuk-bentuk klaim kebenaran yang cenderung eksklusif. Lahirnya teologi Asy'ariah dan Mu'tazilah dalam Islam pada gilirannya melahirkan konflik-konflik internal di kalangan masyarakat Muslim sendiri. Belum lagi dengan konflik dalam mengikuti keberpihakan terhadap tradisi Nabi Muhammad (sunnah) dan keluarganya (ahlul bayt) melahirkan dua tradisi keagamaan yang berbeda antara sunni dan shi'i yang bertahan berabad-abad hingga sekarang. Klaim kebenaran ini pada gilirannya mengarah pada sikap saling menegasikan (mengkafirkan) satu dengan lainnya. Klaim kebenaran juga melahirkan komunalisme tidak hanya ketika menghadapi sesama Muslim, tetapi terutama terhadap apa yang di luar kepentingan etnik, politik, dan ekonomi komunalnya, yang kemudian dijumbuhkan dengan Islam sebagai agama yang dipeluknya.

Sebagai sebuah keniscayaan historis, aneka ragam paham keagamaan tersebut merupakaan kekayaan khazanah Islam dalam sejarah dinamis peradabannya. Hanya saja, Islam sebagai rahmat seluruh jagat raya (rahmatan lil 'alamin) seharusnya tidak dinodai oleh kesempitan cara berfikir dogmatik (taqlid), sikap skripturalis terhadap pemaknaan teks-teks suci agama, dan kepentingan temporer pemeluknya yang diatasnamakan kepada Islam. Fungsi agama tidak lebih hanya sebagai alat pembenar kepentingan kolektif segelintir komunitasnya saja.

Jika pola pendidikan Islam masih mempertahankan prinsip finalitas kebenaran cara beragama, dan eksklusif terhadap ragam perbedaan pemikiran (tentang kebenaran), serta "sakralisasi" terhadap pemaknaan teks-teks agama, maka pertanda eksistensi Islam sebagai agama akan tidak memiliki masa depannya. Sikap menutup diri (isolasionis) dalam beragama akan menumpulkan kepekaan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Wajah humanis Islam akan menjadi monolitik dalam wajah kekerasan komunal yang ditonjolkan pemeluknya ketika menghadapi pluralitas.

E. Paradigma Baru Menghadapi Pluralitas

Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat (iman) manusia lainnya sangat diperlukan.

Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-teka agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model "open-ended"[1] tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama "post-dogmatik" (Qodir, 2002).

Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk (agama), adalah penting untuk mengemukakan pendapat Soedjatmoko (1983;1990) di sini. Menurut Soedjatmoko (1983: 9)), peran agama dalam pendidikan adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya. Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia.

Kemauan berbagi dengan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, dan peka dengan batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan terhadap ketidakadilan (Soedjatmoko, 1990: 8), merupakan indikator-indikator lainnya yang diharapkan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Selain itu, menghadapi pluralitas agama, pendidikan Islam hendekanya mampu membentuk karakter umatnya yang bisa bekerja sama dengan orang lain atau pihak lain terlepas dari perbedaan (diskriminasi) kebudayaan, ras atau agama. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah agar umat memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya dengan masalah-masalah perkembangan baru (Soedjatmoko, 1990:9)

Untuk mau berbagi kemanusiaan, maka pendidikan Islam perlu memahami eksistensi umat agama lain sebagai sesama makhluk Tuhan dengan dialog dan toleransi. Dialog merupakan konsekuensi dari keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Tujuan dialog antar iman (agama), mengikuti Herb Feith (1998), adalah belajar memahami eksistensi masing-masing. Jadi, bukan hanya demi kerjasama menghadapi pihak ketiga. Dialog bukan pula hanya demi menjauhkan bahaya saling konflik. Jadi, "[D]ialog bukan hanya menambah pengetahuan mengenai sebuah kelompok lain. Yang lebih penting lagi memperdalam iman kita masing-masing dan memperkaya spiritualitas kita masing-masing" (Feith, 1998:4).

Toleransi pun tidak hanya dilakukan kepada umat agama lain, tetapi perlu dilakukan di dalam tubuh Muslim sendiri. Adalah mengherankan, jika dialog dan toleransi agama terhadap umat agama lain gencar dipropagandakan, tetapi terhadap sesama Muslim sendiri, karena berbeda mazhab fiqh dan pemikiran, justru dilupakan sama sekali. Penulis berpendapat seruan ini sudah sering disampaikan oleh segenap pemuka Islam, tetapi selalu mengalami kebuntuan, karena toleransi dan dialog agama masih menjadi milik elit agama, belum menjadi sebuah gerakan massa. Paling jauh, dengan komunitas keagamaan yang berbeda ditanamkan sikaf inklusif, tetapi di antara sesama komunitasnya sendiri justru diperkeras sikap eksklusifisme. Ada standar ganda dalam pola hubungan keberagamaan.

Tanggung jawab Muslim sebagai khalifatullah di muka bumi akan kehilangan makna keberimanannya kepada Allah, tanpa kehadiran umat manusia lainnya meskipun berbeda agama. Menghadapi krisis global sekarang pun, beban kekhalifahan tidak cukup hanya ditanggung oleh umat Islam sendirian. Dalam Etika Global yang digagas Hans Kung (1991) adalah menarik untuk dicermati pikiran perlunya menjadikan setiap manusia untuk diperlakukan manusiawi. Keharusan itu diwujudkan dalam komitmen kemanusiaan kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup, budaya solidritas dan tata cara ekonomi yang adil, budaya toleransi dan hidup yang benar, dan budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan. Untuk mewujudkan komitmen itu, maka dialog antar agama menjadi penting. Dalam rumusan Hang Kung yang terkenal sebagai etika global itu adalah bahwa "No Survival Without A World Ethic, No World Peace Without Religious Peace, No Religious Peace Without Religious Dialogue" (Kung, 1991). Dari beberapa pemikiran tersebut, maka aspek pluralis, humanis, dan toleran dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan, sehingga tumbuh kepekaan sebagai sesama umat manusia.

F. Penutup

Idealitas pendidikan Islam yang pluralis, humanis dialogis dan toleran nampaknya akan sulit dikembangkan, jika Islam dimaknai sebagai "negative revelation" (Shanks, 1999) yang menonjolkan otoritarian-isme, eksklusif dan anti dialog. Dengan pengembangan sikap pluralis, humanis dialogis dan toleran dalam pendidikan Islam, pada gilirannya tugas yang berat adalah menerjemahkan teks-teks suci Islam (Qur'an dan Sunnah) sebagai "positive revelation" yang dalam istilah Andrew Shanks (1999) disebut sebagai "isonomy". "Isonomy" merupakan situasi wahyu di mana di masyarakat ada keadilan, ada perdamaian. Untuk mewujudkan "isonomy" ini, maka tawaran "open-ended" dan "post-dogmatik" dalam keberagamaan umat Islam menjadi upaya keras yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Feith, Herb, 1998, Pengalaman Seorang 'Yahudi Abangan': Usaha Saya Menjadikan Agama Yahudi Sebagai Titik Tolak Belajar Hidup Secara Plural Agama, makalah Kursus Studi Agama-Agama Institut Dian/Interfidei, Yogyakarta, 29 Nopember 1998: 1-4

Giddens, Anthony, 1999, Runaway World, How Globalisation is Reshaping our Lives, London: Profile Books

Kung, Hans, 1986, Sunnites and Shi'ites: The State, Lawa, and Religion, A Christian Response, dalam Hans Kung, et.al., Christianity and World Religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism, Maryknoll, New York: Orbis Books :50-69

Kung, Hans, 1991, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad

Mottahedeh, Rpy P., 1996, Akar Islam bagi Teologi Toleransi, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, et.al., Dekonstruksi Syari'ah (II), terjemahan Islamic Law Reform and Human Rights, Chalenge and Rejoinders oleh Farid Wajidi, Yogyakarta: LKiS: 27-39

Moussali, Ahmad S., 1994, Modern Islamic Fundamentalist Discourse on Civil Society, Pluralism and Democracy, dalam Augustus Richard Norton, ed., Civil Society in the Middle East, Leiden, New York , Koln: E.J. Brill: 79-119

Pieris, Aloysius, 2001, Multi-Ethnic Peoplehood and the Good of the Bible: A Comment on the True Nature of Yahweh's Election of Israel, Dialogues (New Series), Vol. XXVIII:66-78

Qodir, Zuly, 2002, Agama "Post-Dogmatik", Kompas, 17 Mei : 4

Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedi Al-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina

Shank, Andrew, 1999, Civil Religion, Civil Society, Oxford: Blackweel Publisher Ltd.

Soedjatmoko, 1983, Education for Peace: The Role of Religion, Dialog, No. 15, September, Th. VIII:6-10

Soedjatmoko, 1990, Manusia Indonesia Menjelang Abad ke-21 dan Persiapannya, Prospek, No.1, Vol. 2: 1-13



[1] Istilah "format ulang" cara beragama ini penulis pinjam dari uraian Prof. Dr. M. Amin Abdullah dalam setiap kesempatan, terutama dalam perkuliahan Filsafat Agama Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang diikuti penulis pada Semester Genap 2001/2002, Mei 2002. Lihat pula Kompas, 3 Mei 2002, hal. 41, 43 dan 44.

Sistem Pendidikan Nasional & Penguatan Kerja Akademik di Lembaga Pendidikan Islam

oleh : Dr. H. Amir Mu'allim, MIS.

MSI-UII.Net - 16/9/2004

ABSTRAK

Tantangan bagi umat Islam, terlepas dari pro kontra, dalam perjuangan menjadikan pendidikan Islam lebih baik dengan disahkannya UU Sisdiknas. Namun di depan menghadang tantangan yang lebih besar dan harus disikapi. Tantangan tersebut adalah globalisasi yang ditandai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi telah melahirkan dunia serba maya, batas dan jarak antarnegara, budaya, ideologi menjadi sangat tipis. Di saat terjadi interaksi, bukan hanya komunikasi yang terjadi, namun lebih dari itu persinggungan dan pergulatan nilai-nilai terjadi dengan intensitas yang tinggi.

Situasi tersebut menuntut kualitas sumber daya manusia yang handal dan mumpuni. Upaya ini harus didahului dengan penguatan kerja akademik di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Kerja Akademik adalah penyelenggaraan pendidikan yang mementingkan pengembangan proses berpikir atau metodologi mencari kebenaran dan proses pendewasaan berpikir, emosi dan spiritual.

Penguatan Kerja Akademik di Lembaga Pendidikan Islam, sangat berpeluang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tinggi, dalam hal ini Lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Hal ini mengingat Lembaga Pendidikan Tinggi memiliki otoritas keilmuan dan memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Proyek Penguatan kerja Akademik ini sebagai salah satu langkah membangun pendidikan Islam menjadi lebih baik, dan pada gilirannya melahirkan generasi yang Rahmatan lil ‘Alamin.

PENDAHULUAN

Masih segar dalam ingatan kita, semenjak kurang lebih dua bulan yang lalu, UU Sisdiknas yang saat itu masih Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional beberapa kali ditunda pengesahannya. Pada awalnya, RUU Sisdiknas tersebut akan disahkan menjadi Undang-undang pada tanggal 2 Mei 2003, bersamaan dengan hari Pendidikan Nasional. Namun perjalanan berliku-liku mewarnai RUU Sisdiknas, dari debat di media massa sampai demonstrasi di jalan.

Rancangan Undang-Undang Sisdiknas menjadi sangat alot disahkan berawal dari Pasal 13 ayat (1) huruf a yang berbunyi “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama di semua jalur dan jenjang, dan jenis pendidikan.”

Selain Pasal 13 ayat (1) (selanjutnya menjadi pasal 12), pihak yang kontra dengan Rancangan Undang-Undang Sisdiknas juga mempersoalkan Pasal 4 tentang Tujuan Pendidikan yang memuat kata iman, takwa dan akhlak mulia dari kalimat lengkapnya sebagai berikut:

“Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Padahal pasal 4 tersebut adalah turunan dari Undang-Undang dasar ’45 Pasal 31 ayat (3) dengan sangat jelas menyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang undang.”

Rancangan Undang-Undang Sisdiknas tersebut pada awalnya merupakan revisi Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai bentuk komitmen pada agenda Reformasi Pendidikan. Namun hal tersebut menjadi berlarut-larut, padahal Rancangan Undang-Undang tersebut disiapkan dan dibahas sejak dua tahun yang lalu.

Baik kelompok yang pro maupun kontra RUU Sisdiknas tersebut sebenarnya menggunakan argumen yang sama dalam menilai RUU tersebut, yaitu menggunakan terminologi HAM, pluralisme, demokrasi, dan asas universalitas, dan mungkin terminologi yang lain. Artinya, mereka menilai, menerima atau menolak dengan menggunakan teropong yang sama dan paramater obyektif yang sama. Yang menyebabkan hasil penilaian mereka memunculkan hasil yang berbeda adalah karena adanya pandangan subyektif yang mempengaruhi mereka.

Setelah RUU Sisdiknas telah ditetapkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 10 Juni 2003 kemarin, maka agenda selanjutnya adalah mengawal derivasi Undang-Undang tersebut sampai pada pelaksanaan di lapangan. Jangan sampai Undang-Undang yang telah ditetapkan tersebut yang awalnya mempunyai substansi yang jernih dan harmoni, namun saat diimplementasikan menjadi rusak dan bahkan merusak, tidak jernih dan harmoni lagi, tapi keruh dan meracuni.

Yang mendesak dilakukan Lembaga Pendidikan Islam, terutama Lembaga Pendidikan tingginya adalah mengantisipasi perkembangan globalisasi atau tantangan eksternal, yang jauh lebih hebat daya rongrongnya bagi pengembangan Pendidikan Islam. Globalisasi, yang ditandai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi telah melahirkan dunia serba maya, batas dan jarak antarnegara, budaya, ideologi menjadi sangat tipis. Di saat terjadi interaksi, bukan hanya komunikasi yang terjadi, namun lebih dari itu persinggungan dan pergulatan nilai-nilai terjadi dengan intensitas yang tinggi.

Tidak ada satu wilayahpun yang dapat menghindari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan segala kesempatan dan tantangan yang ditawarkannya. Beberapa kecenderungan global dimaksud menurut zamroni adalah sebagai berikut: (1) proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri berlangsung sangat cepat. Perubahan cepat ini harus diikuti oleh pendidikan, terutama pendidikan Islam yang terkesan bergerak lambat; (2) Perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang melahirkan knowledge worker, yang pekerjaannya berkaitan dengan information processing, yang semakin besar jumlahnya; (3) berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward to future basics, yang mengandalkan kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think menekankan kepada pengembangan critical thingking, how to learn menekankan kepada kemampuan untuk untuk bisa secara terus menerus dan mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-beda; (4) berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi, yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud munculnya tuntutan pelaksanaan school based management dan site-specific solution; (5) semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab akibat yang sederhana, tetapi memerlukan analisis sistem yang saling bergantungan.

Situasi tersebut menuntut kualitas sumber daya manusia yang handal dan mumpuni. Sumber daya manusia tersebut juga harus memiliki nilai-nilai universal yang akan mendukung efektivitas interaksi di arena global village. Pendidikan, khususnya Pendidikan Islam seharusnya segera mengantisipasi perkembangan ini dengan merumuskan nilai-nilai universal Islam yang dikenal dengan nilai-nilai Rahmatan lil ‘Âlamîn, dan kemudian mempelajari dan merumuskan strategi menginternalisasikannya kepada peserta didik.

PROFIL INDIVIDU OUT PUT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam, dari semua jenjang dan jalur, mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan dan penguatan perilaku-perilaku Rahmatan lil ‘Alamin, universal yang pada gilirannya akan mampu menciptakan peradaban atau kebudayaan yang disebut oleh al Qur’an sebagai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Out put pendidikan Islam harus disiapkan sebagai individu yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatukan dirinya (tidak terjadi split personality), menyatu dengan masyarakat (tidak ada disintegrasi sosial) dan menyatu dengan alam (tidak membuat kerusakan). Untuk mencapai ke sana, menurut Usman Abu Bakar (2002) sekurang-kurangnya out put pendidikan Islam harus mengarah kepada profil individu yang mempunyai: (1) spiritualitas yang tinggi, (2) ketinggian dan kedalaman ilmu, (3) komitmen kepada profesionalisme dan, (4) komitmen kepada akhlakul karimah.

Spiritualitas yang tinggi berarti pendidikan Islam sebagai suatu pendidikan yang melatih perasaan terdidik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual mentalnya menjadi begitu berdisiplin. Sehingga mendapatkan pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual, atau hanya memperoleh keuntungan material saja, melainkan untuk berkembang sebagai intelektual rasional yang berbudi luhur dan melahirkan kesejahteraan, spiritual, moral dan fisik bagi keluarga, bangsa dan seluruh umat manusia.

Sikap-sikap di atas, menurut Ali Ashraf (1979) berasal dari keyakinan yang mendalam terhadap Allah SWT dan penerimaan seluruh hati atas ketentuan moral yang diberikan oleh-Nya. Keabadian kepentingan dan makna dari ketentuan semacam itu, menurut Ashraf, untuk perkembangan wajar dari seorang manusia rasional dan spiritual dijalani dan dipahami melalui prinsip-prinsip itu dalam alam dan masyarakat, dalam perspektif ini, maka seseorang yang menerima pendidikan Islam tumbuh menjadi pribadi pecinta kedamaian, selaras, mantap dan berbudi luhur dengan keyakinan dan kepercayaan pada belas kasih Allah yang tidak habisnya dan keadilan-Nya yang tak ada tandingannya, serta hidup rukun dan tidak bertentangan dengan alam.

Ketinggian ilmu berarti bahwa pendidikan Islam juga berorientasi pada out put yang berilmu pengetahuan tinggi dalam kerangka peningkatan peradaban dan kebudayaan Islam. Ketinggian ilmu pengetahuan ini memungkinkan seseorang melakukan lompatan-lompatan pembaruan dalam skala besar guna meningkatkan kesejahteraan diri, masyarakat dan bangsanya.

Komitmen yang kuat terhadap profesionalisme berarti bahwa orang yang menerima pendidikan Islam diharapkan mampu setia pada profesionalisme sambil mengikatkannya pada prinsip-prinsip umum dan terutama prinsip-prinsip kejujuran dan moral agama. Dalam arti ini, seseorang muslim yang memiliki komitmen ini tidak akan tergoda oleh keuntungan-keuntungan material semata tetapi selalu menghubungkannya pada prinsip-prinsip tersebut.

Komitmen kepada akhlaqul karimah berarti: (1) berkaitan dengan kata khalaqun yang berarti kejadian, kata ini mengidentifikasi bahwa orang yang berakhlak mulia memiliki kesadaran sejarah yang tinggi, yakni asal kejadiannya, sejarah perkembangan hidupnya, dan kemudahan serta kesukaran yang pernah diperolehnya, (2) akhlak berkaitan dengan khaliq yang berarti pencipta. Dari pengertian ini orang berakhlak berarti orang yang memiliki kesadaran ilahiyah yang tinggi, ini juga memunculkan rasa pengabdian yang tinggi dan rasa tanggungjawab terhadap peningkatan kualitas hidupnya sebagai makhluk mulia, (3) akhlak yang berkaitan dengan kata makhluk, artinya diciptakan, berarti orang yang berakhlak merupakan orang memiliki kesadaran terhadap posisinya sebagai makhluk Allah, melahirkan sifat kebersamaan dan kesadaran sosial yang tinggi (E.W. Lane, 1984).

PENGUATAN KERJA AKADEMIK

Sebagai sub sistem pendidikan nasional, Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya dituntut untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah yang berciri khas keagamaan, namun Lembaga Pendidikan Islam juga dituntut memerankan sebagai basis yang menjaga dan memperkukuh moral bangsa (Husni Rahim, 2001). Lebih jauh Malik Fadjar (1999) mengemukakan bahwa pendidikan adalah bagian tidak terpisahkan dari penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari.

Menurut Mastuhu orientasi Sistem Pendidikan Nasional sampai sekarang memandang pendidikan sebagai kerja di bawah otorita kekuasaan lengkap dengan praktik administratif dan birokrasi yang imperative, sudah harus diganti orientasi baru yang sesuai dengan tantangan dan kebutuhan serta hakekat dari makna itu sendiri, yaitu harus dilaksanakan di bawah otorita akademik dan demokratik. Begitu juga strategi dalam mencapai pendidikan bermutu, juga harus dalam kerangka kerja pendidikan atau kerja akademik bukan kerja birokrasi atau perkantoran.

Di dalam kerja akademik yang dipentingkan adalah pengembangan proses berpikir atau metodologi mencari kebenaran dan proses pendewasaan berpikir, emosi dan spiritual. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berati bahwa penyelenggara sekolah atau perguruan sama sekali tidak memerlukan otorita administrasi-birokrasi sebagai bagian otorita kekuasaan dari suatu organisasi. Dalam otorita penyelenggaraan sekolah, otorita administrasi-birokrasi diperlukan untuk menunjang dan menfasilitasi kelancaran proses pembelajaran. Hal ini berbeda dengan otorita administrasi-birokrasi dalam kerja kantor yang merupakan kekuatan inti bagi penyelenggaraan suatu kantor non-kependidikan. Secara kekuasaan birokrasi-administrasi, fakultas, jurusan dan program studi memang harus tunduk pada supersistem di atasnya, namun secara akademik tidak mengenal hirarki kekuasaan.

Untuk menuju pendidikan yang bermutu diperlukan penyelenggaraan pendidikan di bawah otorita akademik dan ditunjang dengan sistem birokrasi-administrasi sekolah yang benar-benar bermutu. Penyelenggaraan di bawah otorita akademik dan sistem birokrasi administrai pendidikan dapat tercapai apabila perangkat-perangkat penyelenggara pendidikan mempunyai wawasan akademik dan paradigma akademik.

Syarat-syarat yang perlu dipenuhi para penyelenggara pendidikan agar mampu memiliki wawasan akademik yang dapat memenuhi tantangan zamannya dalam abad mendatang adalah:

1. Para civitas akademika dan penyelenggara pendidikan perlu memiliki materi keilmuan yang bersumber dari nilai agama yang dipeluknya lengkap dengan numenklaturnya.

2. Civitas akademika perlu memiliki metodologi ilmu pengetahuan yang kuat agar mampu menjelaskan gagasan-gagasannya.

3. Perlu memiliki mazhab pemikiran yang jelas. Mazhab pemikiran merupakan pola pemikiran yang memungkinkan civitas akademika mampu menangkap spirit dari keahliannya. Mazhab pemikiran adalah sekumpulan konsep filosofis, keyakinan, keagamaan, nilai-nilai etika dan metodologis praktis yang melalui hubungan rasional dapat melahirkan satu kesatuan konsep dan tindakan yang dinamis, bermakna, terarah, terpadu dan hidup, dan semua itu dijiwai oleh satu spirit atau ruh.

4. Perlunya pandangan dunia, yaitu pemahaman tentang wujud atau eksistensi. Misalnya pandangan dunia yang materialistis, realistis, teoritis, estetis, multitheistis, monotheistis dan lain sebagainya.

5. Perlu memiliki ideologi yang merupakan penajaman dari pandangan dunia. Dengan ideologi dimaksudkan adanya kepedulian atau keberpihakan kepada siapa ilmunya harus diperuntukkan; dan dengan ideologi memungkinkan ilmuwan terpanggil untuk mengamalkan ilmunya dan membela kebenaran.

Selain itu, civitas akademika Lembaga Pendidikan Islam harus memahami paradigma baru dalam memandang pergeseran ilmu dan teologi. Paradigma baru tersebut adalah:

1. Pengembangan ilmu yang mengacu pada epistemologi.

2. kebenarannya bersifat kira-kira/hipotesis/relatif dan selalu berada dalam semangat mendekonstruksi atau mempertanyakannya kembali kebenarannya.

3. Untuk memahami kebenaran selain dengan menggunakan IQ, juga harus menyertakan intuisi dan afeksi (perasaaan): EQ, SQ, dan RQ. Banyak hal atau kejadian secara logika benar, namun terasa ada kejanggalan “it is right but this doesn’t feel right”. Oleh karena itu diperlukan wisdom atau kearifan dalam memutuskan sesuatu.

4. Keseluruhan menentukan bagian-bagian, dan ada jiwa atau ruh, sehingga terasa hidup bersemangat.

5. Mementingkan proses metodologinya yang terus berkembang dan semakin canggih.

6. Pemeriksaan berpusat pada bagaimana, atau epistemologi, dan memihak keadilan bukan semata-mata kebenaran obyektif, karena banyak hal yang tidak dapat diukur secara matematik.

7. Dalam menetapkan kebenaran menggunakan network atau kerjasama dan mengaitkan setiap disiplin ilmu dengan disiplin-disiplin yang lain, tidak ada satu pohon ilmu tertentu yang menjadi induk dari ilmu-ilmu lain di dalam mengembangkan ilmu-ilmu selanjutnya. Konsekuensinya, IPA sebagai “Putera Mahkota” yang menentukan nasib ilmu-ilmu lain (Social sciencties) ditinggalkan. Ilmu-ilmu sosial juga menentukan sukses kerja bagi ilmu-ilmu eksakta. Misalnya, keberhasilan membangun suatu kompleks pabrik, perumahan, sekolah dan sebagainya, tidak semata-mata ditentukan oleh ilmu-ilmu teknik bangunan, arsitektur dan sebagainya, tetapi juga ditentukan oleh sosiologi, antropologi dan budaya dari masyarakat setempat.

8. Agama bukan ilmu atau instrumen mencapai kebenaran, tetapi agama adalah puncak kebenaran atau puncak pencapaian yang dituju.

9. Cara-cara untuk mengetahui kebenaran teologis dalam paradigma baru harus memasukkan secara eksplisit: institusi dan mistis ke dalam wacana teologis.

10. Makna kebenaran agama dalam kehidupan dapat dirasakan dalam sejarah dan realita yang dapat ditangkap melalui SQ: pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan afektif yang terinspirasi oleh theisness atau penghayatan Ketuhanan yang Maha Esa, yang di dalamnya kita semua menjadi bagian. Kemampuan SQ dapat naik turun; namun dapat ditingkatkan tanpa batas.

MERUMUSKAN LANGKAH

PENGUATAN KERJA AKADEMIK

Dalam usaha untuk merumuskan penguatan kerja akademik lembaga pendidikan Islam tersebut dapat menggunakan pendekatan sistem untuk Pendidikan yang dihasilkan proyek Aritotle, sebagai berikut:

1. Merumuskan kebutuhan nyata. Dalam merumuskan kebutuhan nyata haruslah dialamatkan kepada semua masalah yang harus dipecahkan, bukan terbatas pada masalah-masalah pendidikan saja. Merumuskan kebutuan ini bisa menggunakan strategi SWOT.

2. Merumuskan tujuan. Setelah kebutuhan dirumuskan dengan tepat, selanjutnya dapat ditetapkan tujuan yang akan dicapai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Merumuskan tujuan ini sangat penting sebab rumusan-rumusan yang berikutnya disusun untuk mencapai tujuan ini.

3. Mengidentifikasi kendala. Kendala-kendala ini hendaknya dirumuskan secara komprehensif, mulai kendala yang bersifat material sampai non-materi. Kendala yang bersifat material antara lain dana. Kendala yang bersifat non-materi antara lain kultur. Kendala yang dirumuskan harus benar-benar kendala, bukan hanya asumsi saja.

4. Merumuskan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang potensial. Merumuskan alternatif-alternatif solusi ini bisa dengan menggunakan metode Brainstorming. Keuntungannya dengan metode ini adalah adanya kebebasan mengemukakan pendapat. Perlu diingat bahwa metode ini adalah untuk menginventarisasi alternatif-alternatif pemecahan masalah, bukan evaluasi alternatif pemecahan masalah.

5. Memilih alternatif. Pada tahap inilah dilakukan pemilihan terhadap hasil inventarisasi alternatif-alternatif pemecahan masalah.

6. Mengimplementasikan Alternatif pemecahan masalah. Implementasi ini bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan uji coba skala kecil dan kemudian skala besar sebelum benar-benar diterapkan. Uji coba hendaknya dilakukan secara mendalam dan dengan waktu yang cukup.

7. Mengadakan Evaluasi. Evaluasi harus dilakukan dengan parameter yang seobyektif mungkin. Evaluasi ini ada dua, yaitu evaluasi proses dan evaluasi progres. Evaluasi proses berarti mengevaluasi kegiatan-kegiatan pelaksanaan, dan evaluasi progres mengevaluasi sejaumana kegiatan itu mencapai tujuan.

8. Mengadakan modifikasi. Sampai dengan langkah ketujuh berarti telah menyelesaikan satu interprestasi pendekatan sistem. Kalau langkah-langkah ini ternyata masih belum mampu mencapai tujuan secara sempurna, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan modifikasi dan kemudian mengujicobanya kembali.

PENUTUP

Lembaga Pendidikan Islam, terutama pendidikan tingginya harus melakukan pembaruan dalam penyelenggaraannya di mana kerja akademik harus ditonjolkan dan menjadi basic kerja. Birokrasi administrasi harus berparadigma akademik. Untuk mencapai penguatan Kerja Akademik di Lembaga Pendidikan Islam, khususnya pendidikan tinggi diperlukan kerja keras mengikuti alur pendekatan sistem dalam pendidikan. Lembaga Tinggi Pendidikan Islam yang dengan otoritas keilmuan dan memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya, hendaknya menjadikan proyek penguatan kerja akademik ini sebagai salah satu langkah membangun pendidikan Islam menjadi lebih baik, dan pada gilirannya melahirkan generasi yang Ramatan lil ‘Âlamîn.

BACAAN

Abdurrahman Mas’ud, 2002, Menggagas format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Yogyakarta: Gama Media.

Danah Zohar & Ian Marshall, 2000, Spiritual Intellegence the Ultimate Intelligence, London, Bloomsbury Publising Plc.

Husni Rahim, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos.

Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional Tahun 2003.

Malik Fadjar, 1999, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Fadjar Dunia.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Soenarwan, 2001, Pendekatan Sistem dalam Pendidikan, Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Usman Abu Bakar, 2001, Pendidikan Politik Islam: Sebuah Prospektus Menuju Masyarakat Madani, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya STAIN Surakarta.

Zamroni, 2001, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, Bigraf Publising.

* Artikel ini pernah disampaikan pada dalam Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo tanggal 21 Juni 2003

Waspadai Sistem Pendidikan Dikotomik

oleh : Gunawan Ikhtiono

MSI-UII.Net - 9/8/2004

Perubahan lingkungan, perubahan fisik, perubahan social maupun perubahan Politik akan membawa perubahan konsepsi manusia tentang pendidikan dan sistem Pendidikan. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan tujuan pendidikan yang tentu saja akan berakibat pada perubahan isi serta jenjang pendidikan. Sedangkan perubahan konsepsi tujuan merupakan akibat dari suatu usaha penyesuaian terhadap suatu perubahan lingkungan manusia.
Selama tidak bertentangan dengan nilai Agama dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral tentu saja tidak menjadi masalah. Namun ketika perubahan tersebut tidak seiring sejalan bahkan bertentangan dengan etika, maka harus ada upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mengevaluasi kembali tentang tujuan diselenggarakannya pendidikan.
Sederhananya tujuan pendidikan adalah membuka cakrawala berfikir peserta didik, bukan "Tabula Rasa" yakni menganggap sebuah gelas kosong yang harus di isi terus menerus oleh sang guru. Siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya. Memunculkan kreativitas dan kritis terhadap fenomena yang terjadi, agar tidak pasif dan menerima apa adanya.
Siswa juga dituntut agar wawasannya tidak terfokus pada salah satu bidang saja. Menjadi cerdas secara akal dan cerdas secara bathiniah adalah keseimbangan yang harus dituntut oleh setiap siswa, baik selama maupun setelah selesai proses pendidikan formal.
Proses Dikotomi terlihat sejak Al-Ghazali mewajib-a'in-kan ilmu agama dan mewajib khifayahkan ilmu pengetahuan umum. Hal ini diperkuat oleh Karl Marx dengan ungkapan bahwa agama itu candu, bahkan divonis Friederik Nietsczhe Tuhan telah mati "God is Death". Akhirnya agama menjadi urusan individu manusia dan tidak boleh dicampur dengan urusan Negara khususnya pendidikan.
Kita mengenal Barat atau Eropa sebagai negara sekuler yang memisahkan antara urusan keagamaan dengan urusan Negara, dunia pendidikan khusunya. Sama halnya dengan Pesantren di Indonesia yang mengkhususkan diri mempelajari keagamaan. Sehingga barat cenderung kering nilai religiusnya sedangkan di
Indonesia kekeringan akan ilmu pengetahuan umum.
Oleh karena itu kurikulum, kurikulum pendidikan yang diterapkan harus benar-benar mampu merubah citra agama dimata ilmu pengetahuan. Bukan membenturkannya secara vis a vis. Sebab masalah sekecil apapun bila telah masuk Ranah agama akan menjadi perdebatan serius bahkan menjadi polemic berkepanjangan.
Contoh klasik adalah cloning. Secara ilmiah, sah-sah saja. Namun kalangan agamawan tidak meragukan lagi bahwa ilmu pengetahuan telah mencampuri urusan penciptaan makhluk hidup. Seolah manusia berada pada posisi "Second of God" karena merekayasa genetika, meskipun belum mampu menebak misteri adanya Roh. Disamping mampu menciptakan makhluk. Ilmu pengetahuan juga dapat memusnahkan jutaan umat manusia dalam hitungan menit. Bom Atom misalnya.
Dengan demikian otomatis
Para agamawan berang dan memprotes perkembangan ilmu pengetahuan yang dinilai dapat memurtadkan umat manusia. Dalilnya pun cukup kuat. Ilmu pengetahuan bisa menciptakan sekaligus membunuh makhluk hidup. Padahal semua itu wewenang Tuhan.
Kasus di Indonesia. Memang bukan jaminan, dengan menambah jam pelajaran Pendidikan Agama disekolah umum, para siswa akan menjadi religius dengan sendirinya. Tapi tidak ada jeleknya mencermati kembali penerapan 2 jam pelajaran agama setiap minggunya. Harus dipahami juga konsepsi tujuan pendidikan itu apakah yang sekuler sistem pendidikannya atau manusianya.
"PR" kita adalah bagaimana mempelajari Ilmu Pengetahuan tanpa mengesampingkan Ilmu Agama, mengembangkan Ilmu Pengetahuan tanpa mengabaikan Agama, memanfaatkan Ilmu Pengetahuan tanpa melupakan kewajiban beragama, karena Ilmu tanpa Agama akan buta sedangkan Agama tanpa Ilmu Lumpuh, kata Einstein.

Abstrak Tesis: Wawasan Demokrasi dalam Pendidikan Pesantren: Studi Kasus Pada Pondok Pesantren Tahfidzul al-Qur’an (PPTQ) al-Asy’âriyyah dan Asrama Perguruan Islam (API) Raudhâtut Tholibîn

oleh : Nurul Mubin

MSI-UII.Net - 19/7/2006

Bahasa Indonesia

Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah ikut serta dalam rangka mencerdaskan masyarakat dan memelihara tradisi ke-Islaman dan menyebarkan ilmu-ilmu ke-Islaman. Keberadaannya besar pengaruhnya terhadap pemahaman dan kultur masyarakat. Dalam konteks ini, Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang di warisi khazanah keilmuwan Islam klasik, dihadapkan pada problem kontemporer seperti halnya wacana dan praktek demokrasi modern. Demokrasi menawarkan sistem ketatanegaraan, sosial dan pemerintahan yang menekankan pada nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Sementara ajaran Islam sendiri memiliki perangkat norma yang mengatur sistem ketatanegaraan, sosial dan pemerintahan.

Disinilah kajian ini menarik untuk di eksplorasi, bagaimana wawasan demokrasi dalam pendidikan pesantren. Penelitian ini dilakukan di PPTQ al-Asy’âriyyah Kalibeber dan API Raudhâtut Tholibîn, Jawar, Wonosobo dengan mengunakan metode kualitatif yang berorientasi pada interpretasi, kejelasan, dan makna, untuk mendapatkan data yang lengkap. Penelitian ini mengunakan pendekatan sosiologis-antropologis, sebagai langkah memahami realitas kehidupan pesantren guna menemukan suatu yang nyata dan jelas serta sesuatu yang tidak nampak di permukaan menyangkut wawasan demokrasi dalam pendidikan pesantren. Sementara pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan dalam analisa data mengunakan teknik diskriptif analisis dalam usaha membuat kesimpulan.

Hasil penelitian menujukkan bahwa, wawasan demokrasi dalam pendidikan pesantren, dipahami sebagai “teo-demokrasi” atau kekuasaan mutlak ada pada Tuhan. Namun, beberapa hal dipahami sebagai bagian demokrasi, yaitu (istikhlâf) Pergantian pemimpin dan (ahl al-hall wa al-‘aqd) atau sistem formatur dan baiat.

Selain itu, transformasi kepemimpinan kiai di pesantren di ranah wawasan demokrasi menunjukkan bahwa kiai di pesantren sebagai single power yang memegang hak veto atas berbagai kebijakan pesantren, sekalipun ada proses musyawarah.

Sementara pada aspek metode, kurikulum dan materi, belum ada karena pesantren telah memegang konsep yang ada, antara lain karya Imam Al-mawardi al-Ahkamu as-Sulthâniyyah. Namun dalam kenyataannya justru banyak praktek-praktek demokrasi yang di lakukan di pesantren, sebagaimana dalam pemilihan lurah pondok dengan pemilihan langsung oleh santri.

Penelitian ini sangat penting untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pesantren dimasa yang akan datang menyangkut demokrasi. Pesantren di harapkan membuka diri terhadap wawasan demokrasi supaya ada kesinambungan pemahaman, pembelajaran, pendidikan dan pengalaman demokrasi, sehingga akan terwujud tatanan sosial baru yang lebih beradab.

Bahasa Inggris

Islamic Boarding House as institution of islamic education had a big roles on educate people, kept islamic tradition and spreding islamic sciences. Islamic Boarding House had a big influenced on understanding of people culture. In this context Islamic Boarding House as institution of Islamic education that in herit classical science of Islam facing contemporary problems such as theory in practise of modern democracy. Democracy offering political system, social and government that emphasize at liberty, fraternity ang egality values. While, Islamic doctrin had units of norm that rules political system, social and government.

It is interesting to be explored, how knowledge of democracy in Islamic Boarding House education. This research take place in PPTQ al-Asy’āriyyah Kalibeber and API Raudhātut Tholibīn, Jawar, Wonosobo. This research use qualitative methode which is oriented to interpretation , resolved and meaning to get perfect data. This research use socio-anthropologies approach, as step to understand of reality in Islamic Boarding House life, to find something real, clear and invisible thing on surface that related to knowledge of democracy in Islamic Boarding House education. While in gat hering data use observation technique, interview and documentation, and in analizing data the researcher use discriptive technique to get conclussion.

The result of reserch shows that knowledge of democracy in Islamic Boarding House education as “ teo-democracy” or obsolute authority just on God. But, many thing as part of democracy, i.e istikhlāf, regeneration of leader and (ahl al-hall wa al-aqd) or formation system and baiat.

Besides, leader tranformation of kiai in Islamic Boarding House on knowledge of democracy shows that kiai in Islamic Boarding House single power who had veto on some Iskamic Boarding House policy, although there is discussion process.

While on aspect of methodology, curriculum, and items there is not yet, because Islamic boarding House just had a concept that they had, such as work of Imam Al-Mawardi “ al-Ahkamu as-Sulthāniyyah”. But in reality there are many practiseof democracy in Islamic Boarding House, such as election of chief organization in Islamic Boarding House (lurah). They use direct election by Islamic Students (santri).

This research is very important to give opinion for Islamic Boarding House in the future related to the democracy. Islamic Boarding House will be expected to enclose from knowledge of democracy in order to get continity understanding, learning, education and experience of democracy, so it will be emerge new social organization more civilised.

Artikel:
Sistem Pendidikan

Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): Bambang Wahyudi
Saya Mahasiswa di yogyakarta
Tanggal:
29 september 2001
Judul Artikel: Sistem Pendidikan
Topik: Pendidikan

Artikel:

Pada tahap sekarang ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunanan dalam dunia pendidikan walaupun tampaknya dunia pendidikan di indonesia masih sangat memprihatinkan namun di balik itu dunia pendidikan di Indonesia mengalami sedikit peningkatan bila kita bandingkan dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia sebelumnya.

Namun semua itu masih banyak hal yang perlu di perbaiki dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia antara lain sistem pendidikan yang ada sekarang ini.

Sistem pendidikan yang ada di Indonesia kayaknya perlu ada perumbakan dalam arti tidak merumbak untuk menghancurkan sistem pendidikan yang lama dengan mengganti metode yang baru, namun kita harus bisa sama-sama menutupi lobang-lobang yang ada dalam dunia pendidikan sekarang ini.

Sebagai mana metode pengajaran yang ada di bangku kuliah sekarang ini masih menganggap seorang mahasiswa itu sebagai anak-anak yang bodoh dan perlu di dikte oleh dosen padahal pada kenyataannya seorang mahasiswa itu belum tentu lebih bodoh dari dosennya akan tetapi mungkin dosennya lebih bodoh dari mahasiswanya, namun Dosen lebih dahulu memandang dunia ini, seperti yang kita lihat sekarang ini keadaan real yang ada dosen selalu memegang kekuasaan kebenaran padahal dosen tersebut belum tentu benar.

Maka sistem seperti itu harus kita ubah agar mahasiswa kuliah itu tidak hanya mengejar nilai yang bagus di mata dosen tapi mahasiswa itu membuka wacananya berpikir dan bisa mengatakan kebenaran menurut pola /sudut pikirannya, kalau memang itu pada kenyataannya benar.

Karna semua itu adalah salah satu tahap awal bagi seorang mahasiswa untuk membuka wacananya berpikir krisis dan berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan yang ada..

Saya Bambang Wahyudi setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Artikel:
Pendidikan Yang Demokratis

Judul: Pendidikan Yang Demokratis
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Ign.Sumarya SJ
Saya Pengamat di Jakarta
Topik: Pendidikan demokrasi
Tanggal: 7 Desember 2004

Contoh konkret:
1. Di SMP Kanisius Jl.Menteng Raya 24 Jakarta, salah satu kegiatan proses belajar mengajar adalah semacam 'forum terbuka' yang diasuh oleh kepala sekolah. Dalam kegiatan ini anak-anak (per kelas) selama kurang lebih satu jam pelajaran diminta menyampaikan keluh-kesah, suka-duka, harapan, tantangan dst.. selama belajar. Menarik kami beberapa reaksi dari anak-anak: 'Apakah kalau kami ramai di kelas hukumannya ulangan umum?', 'Terlambat masuk beberapa menit saja dihukum harus menyapu'Dst. Sang pengasuh pun menuntun anak-anak ini secara konkret, semacam refleksi bersama, melihat keuntungan dan kerugian berbagai tindakan atau perilaku yang menyimpang di sekolah. Salah satu buah kegiatan macam itu antara lain: seorang murid klas I diajar fisika oleh gurunya: guru mengatakan bahwa semua benda yang dipanasi akan memuai, tetapi ada anak yang bertanya 'lho telor itu dipanasi tidak memuai, tetapi malah menjadi padat, gimana itu'. Dengan rendah hati guru pun minta maaf belum dapat menjawab saat itu, dan akan dicarikan jawabannya kemudian.

2. Contoh di atas hemat kami merupakan salah satu perwujudan motto bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro -> 'ing madyo ambangun karso' (=pemberdayaan). Hemat kami 'pemberdayaan' ini lemah sekali di dalam proses pendidikan atau pembelajaran kita saat ini yang sangat didominasi oleh sistem indoktrinasi. Dampaknya adalah manusia-manusia robot, kurang kreatif, pasif dst... Maka kami mengajak segenap pecinta, pengamat, pelaksana proses pembelajaran/pendidikan di tingkat apapun marilah kita wujudkan motto bapak pendidikan kita di atas, di mana kehadiran setiap pendidik/pembina akan menggairahkan atau memberdayakan para murid/peserta didik, sehingga mereka bermental eksploratif, bukan konsumptif dan pasif.

3. Untuk mendukung pelaksanaan sistem tersebut di atas perlu dihayati bahwa pendidikan adalah 'proses'. Proses berarti mulai dari sesuatu apa adanya dan sedikit-demi sedikit ditumbuh-kembangkan bersama-sama. Disini pendidik dan peserta didik sama-sama berdiri sebagai subyek/pribadi yang sama-sama masih butuh tumbuh dan berkembang. Dari pihak pendidik memang dituntut sikap terbuka, rendah hati, sabar, mendengarkan dst... Ingat berproses bukan ingin cepat-cepat jadi/instant. Berpartisipasi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dapat belajar dari 'ibu yang sedang mengandung anaknya' atau 'petani yang merawat tanamannya'. Keutamaan-keutamaan macam apa yang dibutuhkan oleh ibu atau petani tersebut juga dibutuhkan oleh seorang guru atau pendidik.
ign, sumarya sj

Saya Ign.Sumarya SJ setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Artikel:
Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Drs. Nurkolis, MM
Saya Dosen di Jakarta
Tanggal: 1 Juli 2002
Judul Artikel: Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
Topik: Investasi Pendidikan

Artikel:

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang Oleh : Nurkolis

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

Nilai

Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka:
Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Fungsi

Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.

Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta.

Saya Drs. Nurkolis, MM setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Artikel:
Tahun 2020
Indonesia Kehabisan Guru

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Mochammad Asyhar
Saya Mahasiswa di Depok
Tanggal:
04/11/2002
Judul Artikel: Tahun 2020
Indonesia Kehabisan Guru
Topik: Kebijakan Pendidikan

Artikel:

Hari-hari terakhir ini sedang gencar ditayangkan dua iklan layanan masyarakat di setasiun-stasiun televisi, baik TVRI maupun stasiun televisi swasta. Iklan yang satu berisi pesan tentang anak asuh dan yang lain melukiskan kekurangan guru di negeri kita tercinta ini. Walaupun hanya berdurasi beberapa detik, kedua iklan ini cukup mengundang perhatian, terutama iklan yang disebutkan terakhir.

Kekurangan guru. Sungguh sebuah realitas potret pendidikan kita (salah satu sisi) yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, pendidikan adalah modal utama terciptanya kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di pihak lain, guru sebagai tenaga profesional di bidang ini justru jumlahnya semakin langka.

Lalu, apa jadinya jika pada tahun-tahun mendatang tidak mudah dijumpai sosok guru? Barangkali Anda semua sudah tahu jawabannya. Sudah pasti peradapan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini semakin parah daripada kondisi sekarang. Mengapa sampai terjadi kondisi seperti ini?

KILAS BALIK
Keadaan pendidikan seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya tentu tidak terjadi bagitu saja. Hal itu pasti ada pemicunya. Penyebab kekeurangan guru yang akan saya paparkan di sini bukan berasal dari hasil penelitian mendalam, tetapi sekadar pengamatan sekilas dan dugaan. Penyebab penurunan jumlah sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru, akhir-akhir adalah ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan keguruan.

Pada paruh pertama tahun 1990-an semua Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditutup. Penutupan lembaga pendidikan tersebut beralasan bahwa jenjang pendidikan dasar sudah tidak layak lagi diajar oleh guru-guru tamatan SPG yang notabene hanya berjenjang pendidikan menengah. Sebagai gantinya dibukalah Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Selain itu, sebelum penutupan lembaga-lembaga pendidikan keguruan itu didahului dengan lahirnya sebuah kebijakan yang menetapkan bahwa lulusan SPG tidak otomatis atau langsung diangkat sebagai pegawai negeri, kecualai beberapa orang siswa berprestasi pada tiap angkatan. Akibatnya, banyak lulusan SPG yang beralih ke profesi lain, misalnya pekerja pabrik atau tambak. Fakta seperti ini sangat disayangkan karena para siswa SPG adalah siswa pilihan. Lulusan SLTP yang dapat diterima di SPG adalah siswa yang mempunyai NEM minimum 42,00 dan harus melalui ujian saringan yang bertahap-tahap. Hal itu menunjukkan bahwa yang dapat d iterima di SPG adalah manusia-manusia cerdas dan pilihan. Jadi, mereka sebenarnya adalah tenaga-tenaga potensial.

Berikutnya, menjelang akhir tahun 2000, semua IKIP di Indonesia berubah menjadi universitas meskipun masih ada beberapa STKIP dan FKIP di universitas-universitas. Perubahan status ini tentunya diikuti juga perubahan visi dan misi. Semula berstatus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK)sebagai pencetak tenaga-tenaga pendidik profesional berubah menjadi universitas yang mencetak sarjana-sarjana ilmu murni. Barangkali kebijakan ini bertujuan untuk mencapai target sarjana-sarjana andal di bidang IPTEK dalam rangka menyongsong lahirnya Negara Indonesia sebagai negara maju berbasis teknologi. Obsesi seperti ini sangat bagus. Akan tetapi, penyakit latah bangsa Indonesia ini sukar sekali hilang. Artinya, pada waktu kibijakan perubahan status IKIP menjadi universitas itu disetujui, seharusnya beberapa IKIP di Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang sudah berkualitas tetap dipertahankan. Dengan demikian, jumlah guru nantinya tetap tercukupi karena sampai kapan pun sektor pendidikan di sebu ah bangsa tidak akan ditutup. Hal itu berarti bahwa sampai kapan pun tenaga guru masih dibutuhkan.

APA SOLUSINYA
Kekurangan guru, seperti diilustrasikan dalam iklan layanan masyarakat di televisi, baru terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Apabila diamati, fenomena ini cukup realistis menggingat penutupan SPG dan PGA sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Lulusan PGSD pun tidak semuanya dapat diterima sebagai pegawai negeri. Sementara itu, pada jenjang pendidikan menengah fenomena kekurangan guru masih belum terasakan. Hal itu wajar karena penutupan IKIP-IKIP baru dua tiga tahun terakhir. BISAKAH ANDA BAYANGKAN PADA TAHUN 2020 MENDATANG?

Untuk mengatasi persoalan kekurangan guru pada jenjang pendidikan dasar, barangkali buah pikiran saya ini dapat dijadikan bahan diskusi. Setelah kebijakan yang menghentikan pengangkatan tenaga guru sekolah dasar (SD), banyak lulusan SPG atau PGA beralih profesi ke bidang lain. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi mengingat mereka adalah tenaga-tenaga pilihan. Ditambah lagi oleh sistem penerimaan mahasiswa PGSD. Dari awal dibukanya, PGSD menerima mahasiswa dari lulusan SMA. Materi soal tesnya pun disesuaikan dengan standar pengajaran di SLTA umum. Tentu saja hal ini merupakan kendala bagi lulusan SPG atau PGA untuk bersaing dengan lulusan SMA karena materi yang diajarkan di SLTA umum dan kejuruan sudah barang tentu berbeda. Akhirnya, para lulusasan SPG jarang yang diterima.

Pada saat perekrutan mahasiswa PGSD seharusnya yang diutamakan terlebih dahulu adalah lulusan SPG atau PGA. Baru kemudian setelah semua lulusan SPG atau PGA ini sudah habis, perekrutan dibuka untuk lulusan SMA.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan kekurangan guru SD, mengapa tidak dicoba untuk memanggil kembali lulusan SPG dan PGA yang belum sempat diterima sebagai guru negeri? Beri mereka beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di PGSD atau STKIP. Setelah lulus langsung diangkat sebagai tenaga guru negeri.

Saya Mochammad Asyhar setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Artikel:
PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Amirul Mukminin
Saya Dosen di UPT - Kebahasaan UNJA/ASM Jambi, Manager LPK Bahasa Inggris-MEC
Tanggal: 23 January 2003
Judul Artikel: PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Topik: Pendidikan Nasional

Artikel: Oleh Amirul Mukminin

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan
Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.

Amirul Mukminin
Staf Pengajar UPT - Kebahasaan UNJA /ASM Jambi,
Manejer LPK Bahasa Inggris -MEC di Jambi

Saya Amirul Mukminin setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Tidak ada komentar: