Rabu, 05 Maret 2008

Pengembangan Kompetensi Peserta Didik dalam KBK

KURIKULUM Berbasis Kompetensi (KBK) sudah diterapkan mulai tahun 2004. Namun ternyata masih banyak guru dan masyarakat yang kurang memahami tentang KBK. Sejumlah guru dari tingkat SD, SMP sampai dengan SMA/SMK masih ada yang rancu dalam memahami KBK.
Kondisi itu saya temukan ketika mengambil data dalam suatu penelitian tentang pelaksanaan KBK di sekolah-sekolah. Penelitian tersebut merupakan kerja sama Unnes dengan Pusat Kurikulum (Puskur) Depdiknas. Kebetulan saya ditempatkan di Provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Serang.
Berdasarkan data di Kabupaten Serang, diketahui sejumlah guru masih memiliki pendapat bahwa KBK dan Kurikulum 1994 pada dasarnya sama saja. Pembelajaran sesuai KBK sama dengan pembelajaran CBSA dalam Kurikulum 1994.
Hasil wawancara mahasiswa prodi pendidikan sosiologi antropologi Unnes terhadap sejumlah guru SMA di Kota Semarang juga memberikan gambaran bahwa guru banyak yang kurang mampu membedakan KBK dan Kurikulum 1994.
KBK juga belum cukup dipahami oleh masyrakat. Padaahal, KBK sebenarnya juga perlu dipahami oleh mereka. Mengapa? Sebab masyarakat adalah penerima pendidikan yang saat ini dilaksanakan berdasarkan KBK.
Melihat kenyataan demikian, maka masih diperlukan pengembangan wacana guna membantu terbentuknya pemahaman tentang KBK, bukan saja bagi guru tetapi juga bagi masyarakat luas.
Dalam pembelajaran berdasarkan Kurikulum 1994, ukuran keberhasilan lebih banyak diarahkan untuk pencapaian prestasi akademik. Hal ini dapat dilihat dari pola-pola pembelajaran di kelas, bahan ajar, dan evaluasi yang dilakukan.
Prestasi Akademik
Pembelajaran berdasarkan Kurikulum1994, peserta didik lebih banyak diarahkan untuk menguasai materi ilmu pengetahuan. Peserta didik diberi materi pengetahuan sesuai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Metode belajar di kelas yang terutama digunakan adalah ceramah dan tanya jawab. Guru dalam posisi lebih banyak berceramah, sementara siswa mendengarkan, mencatat dan bertanya. Selebihnya, diberi tugas mengerjakan soal-soal yang disebut PR (pekerjaan rumah).
Evaluasi yang dilakukan masih menggunakan metode tes klasikal (secara kelas). Di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah. pertanyaan-pertanyaan disusun dalam bentuk tes-tes pilihan ganda, dan sebagian lagi isian serta esai.
Untuk menjawab soal-soal tersebut , peserta didik belajar dengan jalan menghafal materi pelajaran yang telah disampaikan guru di kelas. Untuk menghafal materi tersebut, tak jarang malam sebelum ujian peserta didik kurang tidur untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian. Dengan jalan menghafal, maka peserta didik dapat lebih berpeluang mendapatkan nilai yang tinggi.
Buku-buku yang dibeli dan dikumpulkan siswa banyak yang merupakan kumpulan soal-soal. Banyak buku-buku kumpulan soal yang dipelajari oleh peserta didik. Karena itu, tak heran jika berkembang lembaga bimbingan belajar di berbagai kota. Lembaga tersebut melatih peserta didik menjawab soal-soal.
Pola pembelajaran seperti di atas tentu mampu menghasilkan peserta didik yang mampu mengerjakan soal-soal, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tetapi, pemilikan pengetahuan seperti itu belum mampu mengembangkan kompetensi peserta didik.
Akibatnya, banyak lulusan pendidikan tidak memiliki kompetensi. Banyak di antara mereka tidak memiliki kesiapan dan kematangan ketika memasuki lapangan kerja. Mereka tidak memiliki sikap-sikap, pengetahuan-pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk bekerja.
Beberapa Fenomena
Fenomena yang ada menunjukkan, sejumlah lulusan dari berbagai institusi pendidikan dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi ternyata banyak yang tidak dapat terserap lapangan kerja. Di sisi lain, setiap hari terdapat informasi lapangan kerja, tetapi banyak angkatan kerja yang merasa tidak cukup relevan dengan informasi yang ditawarkan.
Jika dicermati di berbagai iklan lowongan kerja, dapat ditemukan banyak perusahaan yang bergerak di sektor industri, perdagangan, jasa, pertanian dan lain-lain yang mengiklankan kesempatan kerja. Akan tetapi kebanyakan lowongan tersebut ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh angkatan kerja yang ada.
Beberapa orang lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang melamar pekerjaan di instansi pemerintah atau di perusahaan-perusahaan juga menghadapi bermacam-macam hambatan. Sejumlah calon pelamar merasa terhalang oleh kemampuan bahasa Inggris, lainnya terhalang oleh keterampilan mengoperasionalkan komputer, dan lainnya lagi tidak relevan jurusan keilmuannya.
Tampaknya lapangan kerja yang ada saat ini membutuhkan tenaga kerja yang berkeahlian. Banyak tawaran lapangan kerja, tetapi persyaratannya tidak lagi terbatas pada sarjana apa, lulusan dari perguruan tinggi mana, IP-nya berapa, dan seterusnya. Lowongan kerja yang ditawarkan seringkali disertai persyaratan kemampuan-kemampuan yang dipunyai calon tenaga kerja.
Banyak lulusan, baik dari perguruan tinggi maupun SMK tak dapat memanfaatkan peluang kerja, karena kemampuan yang mereka miliki tak cukup untuk memasuki lapangan kerja yang tersedia.
Pengembangan Kompetensi
Pembelajaran berdasarkan Kurikulum 1994 selama ini dikenal lebih berorientasi pada kemampuan akademik dan kurang mengembangkan kompetensi peserta didik. Untuk mengatasi keterbatasan Kurikulum 1994, maka disusun kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
KBK diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa, 2003).
Untuk mengembangkan kompetensi, maka pola pembelajaran yang dilakukan seharusnya memiliki ciri:
Pertama, pembelajaran di sekolah dikaitkan dengan pekerjaan yang ada di tengah masyarakat.
Kedua, memperhatikan perbedaan individu, baik kemampuan, kecepatan belajar maupun konteks sosial budaya.
Ketiga, penekanan perlunya pemekaran terhadap potensi bawaan sesuai kesempatan belajar yang ada dan yang diberikan oleh lingkungan.
Keempat, pemberian keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasi potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar.
Pola pembelajaran di sekolah yang dipilih dapat berupa pemberian pengalaman lapangan yang cukup. Peserta didik, sesuai dengan jenjang sekolahnya, diberi pengalaman untuk mempelajari fakta, konsep, dan teori-teori yang dihubungkan dengan kenyataan di lapangan.
Contoh dalam pembelajaran kesenian di SD, setelah mendapatkan pengetahuan tentang kesenian musik, peserta didik diberi kesempatan oleh guru untuk mempraktikkan pengetahuan yang telah dipelajari.
Dalam praktik tersebut, peserta didik diberi kebebasan untuk memilih jenis kesenian musik yang akan ditekuni, misal pianika, seruling, gitar, angklung, gendang, atau menyanyi, hingga karaoke sesuai dengan kemampuan, bakat, atau minat masing-masing.
Dalam memberikan penilaian, peserta didik yang berbeda-beda harus mendapatkan penghargaan yang sama sesuai kemampuannya. Peserta didik yang pandai mempraktikkan alat-alat musik atau menyanyi secara benar dihargai tinggi.
Peserta didik tidak harus memiliki kemampuan terhadap aspek yang sama, misalnya mampu menyanyi semua, atau menggunakan seruling semua. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan keragaman potensinya.
Peserta didik yang belum berhasil menguasai kemampuan tertentu, ia diberi kesempatan untuk mengulangi sampai mampu dan merasa puas. Ia juga tetap memiliki kesempatan untuk mendapatkan nilai yang tinggi jika masih terus berusaha mencapai kemampuan sesuai dengan standar yang ditentukan.
Dalam evaluasi, peserta didik yang dinilai rendah adalah jika ia tidak memiliki kemampuan dan tidak mau mengulangi lagi mengembangkan kemampuannya itu. Kemungkinan peserta didik tersebut memiliki bakat atau minat dalam bidang ilmu yang lain.
Contoh tersebut hanya sebagian dari pola-pola pembelajaran berdasarkan KBK. Di luar itu masih ada pola-pola lainnya. Namun, pengembangan pembelajaran berdasarkan KBK tetap perlu melakukan penyesuaian dengan karakteristik bidang ilmu dan tingkat pemikiran peserta didik.
Dengan pola pembelajaran berdasarkan KBK, diharapkan kompetensi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal. Setelah kompetensi peserta didik berkembang, harapan selanjutnya adalah saat kelak menjadi dewasa, mereka lebih memiliki kesiapan dalam memasuki lapangan kerja. (29)
--Drs MS Mustofa MA, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi-Antropologi FIS dan peneliti Lemlit Unnes.
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/29/opi4.htm

Tidak ada komentar: