Selasa, 18 Maret 2008

Otomi dan Demokrasi Pendidikan Islam

A. Pendahuluan
Islam dengan ajarannya yang bersifat universal telah mendorong umat manusia untuk melakukan perubahan-perubahan dalam upaya melakukan perbaikan baik secara fisik, mental dan spiritual. Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang melakukan perobahan tersebut”.
Nabi Muhammad saw baik ketika masih berada di Mekkah, maupun setelah Hijrah ke Madinah, secara sempurna mewujudkan keteladanan sebagai pendidik utama. Di Makkah missi utama beliau adalah membangun masyarakat yang bertauhid; meletakkan dasar-dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat histories yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Sumber bagi pembentukan masyarakat semacam itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang terus turun secara berangsur-angsur yang dilengkapi dengan Sunnah Nabi sendiri.[1]
Pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat merupakan sebagai konsekuensi logis dari perubahan.

B. Hakikat Demokrasi dan Desentralisasi Pendidikan Islam
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang pendidikan Islam, adalah lebih wajar kita memahami hakikat dan sifat din ini. Islam adalah ciptaan Allah SWT dan diturunkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah SAW. Islam diturunkan dengan lengkap dan sempurna untuk memimpin manusia melaksanakan ubudiyah sepenuhnya kepada Allah SWT. Din ini telah direalisasikan serta dihayati dengan sempurna oleh Rasulullah SAW bersama-sama generasi yang pertama di dalam kehidupan individu mahupun kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan Surah Al-'Ashr, kita dapati ada tiga bentuk pendidikan untuk membolehkan manusia selamat daripada kehinaan dan kerugian. Ini telah dijelaskan oleh Dr Abdul Rahman an-Nawawi, di dalam bukunya 'Pendidikan Islam: Di Rumah, Di Sekolah dan Masyarakat[2]. Beliau menulis:
".....keselamatan manusia daripada kerugian dan azab dapat dicapai melalui tiga bentuk pendidikan berikut: Pertama, pendidikan individu yang membawa manusia kepada keimanan dan ketundukan kepada syariat Allah SWT, serta beriman kepada yang ghaib; kedua, pendidikan diri yang membawa manusia kepada amal saleh dalam menjalani kehidupan seharian; dan ketiga, pendidikan masyarakat yang membawa manusia kepada sikap saling berpesan dalam kebenaran dan saling memberi kekuatan ketika menghadapi kesulitan yang pada intinya, semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT."
Islam memiliki ajaran yang secara universal mampu sebagai pendidikan manusia masa depan , tidak bisa dengan mengesampingkan pandangan kita terhadap manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Ketika Allah menjadikan Khalifah di muka bumi ini secara tidak langsung Allah SWT telah memberikan hak otonom kepada manusia untuk menjalankan kekhalifahannya.
Istilah otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani yaitu “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti hukum atau aturan[3]. Otonomi diartikan juga sebagai mengatur atau memerintah sendiri, atau dengan kata lain diartikan perundangan, bahkan ada yang berarti dalam pengertian pemerintahan (bestuur).
Dari arti kata diatas dapat kita pahami dalam konsep pendidikan Islam, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk tidak menuliskan selain alqur’an tatkala setelah beliau menerima wahyu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut :

“ Jangan kamu tuliskan dari padaku selain al-qur’an” (HR. Muslim)
Pelarangan nabi dalam hadits di atas menunjukkan pengertian perintah menuliskan ayat-ayat al-qur’an dalam proses ‘Pendidikan Islam’, artinya secara ril Islam telah melakukan otonomi terlebih dahulu, namun persoalannya istilah otonomi hanya baru digunakan dalam dunia pemerintahan daerah.
Otonomi secara luas adalah kewenangan diberikan secara menyeluruh kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ,meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.[4]
Penerapan dari konsep tersebut secara nyata juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam melakukan da’wah (pendidikan) dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan daerah yang ada di zaman Jahiliah. Sehingga beliau secara berlahan mampu mengeluarkan masyarakat dari kondisi serba kesemberautan kepada suanana damai dengan peraturan yang lebih baik.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa otonomi secara nyata yaitu pelaksanaan otonomi itu disesuaikan dengan kenyataan yang ada, yang tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.[5]
Otonomi hendaknya diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan potensi daerah masing-masing, bukan untuk memindahkan kekuasaan dari ‘pusat’ ke ‘daerah’ (dekonsentrasi).[6]
Untuk menciptakan masyarakat negara yang demokratis, seyogiyanya melalui perbaikan kualitas pendidikan, semakin tinggi pendidikan suatu bangsa, maka semakin tinggi pula tingkat demokrasi bangsa tersebut.
Sementara itu Demokrasi berasal dari perkataan Yunani demokratia, arti pokok : Demos = rakyat; Kratos = kekuasaan; jadi kekuasaan rakyat, atau suatu bentuk pemerintahan negara, dimana rakyat berpengaruh di atasnya, singkatnya pemerintahan rakyat. Namun pengertian secara umum, demokrasi juga diartikan sebagai perbandingan “separuh + satu”. Jadi golongan mana telah memperoleh suara paling sedikit separuh + satu suara, maka menanglah golongan ini atas golongan lain[7].
Inu Kencana : Demokrasi secara etimologi berasal dari kata demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan Cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan, jadi demos cratein atau demokraasi adalah keadaan negara dimana dalam system pemerintahannya berkedaulatan berada ditangan rakyat[8]
Demokrasi itu juga metode atau cara mengatur tatatertib masyarakat dan juga untuk mengadakan perubahan masyarakat. Menentukan kebebasan bergerak, menyatakan pendapat dan tulisan, menentukan kebebasan pers, berkumpul, menganut agama atau kepercayaan dan keyakinan masing-masing dan sebagainya[9]
Sementara itu dalam kamus besar bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai “Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara “[10]

Hasbullah menyatakan “Demokrasi di samping merupakan pelaksanaan dan prinsip kesamaan social dan tidak adanya perbedaan yang mencolok, juga menjadi suatu cara hidup, suatu way of life …”[11], ternyata dalam pendidikan Islam demokrasi dalam pengertian ini sebetulnya sudah banyak disinyalir oleh al-qur’an sebagaimana firman Allah berikut ini :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-hujurat ayat 13)

lebih lanjut Hasbullah menyatakan dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya)[12], semakin jelas ternyata dalam pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek intelektual, kesehatan, social dan lain sebagainya.
Sementara itu Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004). Namun pemahaman desentralisasi yang sampai hari ini masih dalam perdebatan panjang untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab untuk apa dan kepada siapa, kenyataan ini bisa dirasakan ketika terjadi restrukturisasi kekuasaan, mulai dari tingkat pusat, regional sampai pada local dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan system pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional.
Desentralisasi berarti give greater power (for self-government) to places, brances etc, away from center menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary dalam buku Abdul Rachman Shaleh. Dalam pengertian ini desentralisasi berhubungan dengan pendelegasian / delegasi.[13]
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk seterusnya menjadi urusan rumah tangga daerah.[14] Daerah yang mempunyai nilai historis cukup mandiri secepatnya diberikan otonomi seperti Irian Jaya, bahkan untuk daerah-daerah tertentu yang sangat menjolok kemandiriannya sebelum kemerdekaan diberikan otonomi khusus seperti Nangro Aceh Darusslam dan daerah istimewa Yogyakarta.
Melalui desentralisasi pemerataan pendidikan akan lebih cepat tercapai, karena daerah akan lebih tahu kebutuhan masyarakat yang mereka layani, disamping wewenang penuh yang dipunyai dalam membuat perencanaan.[15]
Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah system manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan.[16] Dalam pengertian ini desentralisasi lebih cendrung kepada demokrasi untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan suatu bangsa.
Jadi dari serangkaian pengertian tentang otonomi, demokrasi dan desentralisasi maka pemakalah menyimpulkan sebagai pehaman bahwa Otonomi yang merupakan proses peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan yang digerakkan oleh masyarakat, dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti otonomi adalah demokrasi.
Otonomi pendidikan Islam tentunya merupakan kemampuan melaksanakan perencanan dan pengawasan, meningkatkan kemampuan keuangan, sumberdaya manusia dan sebagainya. Otonomi mengarah kepada asas desentralisasi, Cheema G Shabbir menyatakan bahwa signifikansi dari desentralisasi adalah meningkatnya pengakuan oleh perencana pembangunan, pembuat kebijakan dan para praktisi sudah menjadi perdebatan bahwa dalam situasi tertentu, desentralisasi mendorong dan mempromosikan akses lebih besar pada pelayanan pemerintah, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, lebih efisien dalam mekanisme penyampaian fasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan akuntabilitas lembaga pemerintahan.[17]

Pendidikan Islam menuju Masyarakat Madani adalah membangun masyarakat beriman, berpengetahuan, berketerampilan, berkepribadian dan berakhlak, memiliki sikap demokrasi dan profesional dalam mewujudkan manusia dan masyarakat yang berkualitas, kreatif, inovatif dan mampu menterjemahkan serta meralisasikan nilai-nilai Islamiyah dalam perilaku sosial di tengah kehidupan masyarakat global.

C. Manajemen Berbasiskan Sekolah Terhadap Lembaga Pendidikan Islam
Scool Based Management atau MBS adalah system manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah setempat.[18] Menurut Asnawir “Scool Based Management” pada intinya memberikan kewenangan/pendelegasian (delegation of authority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan pengelolaan kualitas secara berkelenjutan (quality continious improvement).[19]
Seluruh komponen yang menjadi kebutuhan untuk mencapai tujuan pendidikan seperti sarana prasarana, guru, peserta didik, kurikulum, system informasi dan lain-lain merupakan hal yang tidak bisa dilepeskan begitu saja. Untuk itu kesemua kebutuhan pendidikan tersebut harus di rencanakan dengan matang, diupayakan secara maksimal dan terorganisir serta penting dilakukan pengontrolan yang cermat, sehingga pencapaian tujuan sebuah pendidikan dapat berjalan secara baik dan lancar.
Lebih luas lagi Asnawir dalam buku manajemen pendidikan menyebutkan “dalam konsep MBS hendaklah diusahakan sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan SDM dan sumber daya lainnya secara administrasi”.[20]
Pada dasarnya MBS merupakan upaya masyarakat dan gagasan pemerintah dalam melaksanakan desentralisasi pengelolaan, sekolah dan tidak lagi tergantung kepada kebijakan birokrasi yang bersifat sentralistik.[21] Hal ini dapat dipahami bahwa hak otonom yang diberikan kepada pihak sekolah agar dapat berjalan secara maksimal, efektif dan efisien.
Namun hal tersebut harus dicermati sedemikian rupa, sehingga apa yang menjadi peluang dan tantangan, kendala, kelemahan dan ancaman bagi keberlangsungan suatu proses pendidikan dapat diatasi secara tanggap cepat dan tepat. Apalagi pada setiap lembaga pendidikan akan memiliki situasi dan kondisi serta finansial yang berbeda-beda.

D. Pendidikan Berbasiskan Masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan Islam.
Lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha.[22]
Sementara itu dalam kamus besar Bahasa Inggris, lembaga berarti intitute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak adalah institution, yaitu, suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian non-fisik disebut dengan pranata.[23]
Lembaga pendidikan merupakan wadah untuk proses merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan dan dikembangkan oleh jiwa Islam (al-qur’an dan al-Sunnah)[24]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat. Hal ini seiring dengan luasnya daerah Islam yang membawa dampak pada pertambahan jumlah penduduk Islam.
Sejarah telah membuktikan bahwa nabi Muhammad saw sebagai nabi dan Rasul terakhir berhasil mendirikan suatu system pemerintahan yang pengaruhnya berkembang keseluruh penjuru dunia. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan, dan jiwa umatnya, bahkan mengadakan revolusi berfikir dalam jiwa bangsa-bangsa, hanya berdasarkan ajaran Islam.
Dan sejarah telah membuktikan bahwa dimasa Nabi tersebut, rumah Al-Arqam ibn abi al-Arqam merupakan lembaga pendidikan yang pertama, guru yang pertama adalah nabi Muhammad SAW dengan sekumpulan kecil pengikut-pengikut yang percaya kepadanya secara diam-diam. Dan dirumah itulah nabi mengajarkan al-qur’an.[25]
Selama sekian abad pendidikan Islam merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sebelum penjajah belanda memperkenalkan system pendidikan modern sekitar abad ke 19. Lembaga-Lembaga pendidikan seperti surau, majlis taklim, pesantren dan madrasah sudah diterima dan memiliki basisnya yang sangat kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia.[26]
Di Indonesia lembega-lembaga pendidikan agama masih berada di bawah Departemen Agama, walaupun ada keinginan untuk berada satu atap di Dinas Pendidikan di Daerah, akan tetapi dalam pengelolaannya terkesan tetap belum berbanding lurus dengan lembaga-lembaga pendidikan umum. Pada hal pendidikan agama sebetulnya tetap eksis dan mendapat tempat yang dominan di lembaga pendidikan Nasional tersebut. Secara jujur dan ril Departemen Agama sangat memiliki keterbatasan dalam mengelola lembaga pendidikan agama yang berada di bawah payungnya.
Demokrasi nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata kepemerintahan dan kegiatan politik. Semua proses politik dan lembaga-lembaga pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Peningkatan relevansi pendidikan ditujukan agar terciptanya hubungan yang erat antara “out put” pendidikan dengan kebutuhan masyarakat.[27]
Demokrasi dapat dikaitkan pemahamannya dengan kedaulatan rakyat, maka sistem pemerintahan harus dilakukan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi yang berlandaskan prinsip kedaulatan rakyat ini bukan bararti bahwa setiap perizinan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah baru dikatakan sah jika seluruh rakyat ikut beramai-ramai membuat keputusan.
Pemihakan kepada kepentingan seluruh rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi, karena hakekat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[28]
Al-Qur’an sebagai landasan etika pemerintahan, masalah demokrasi dan kebijaksanaan pemerintah (public policy) yang bagaimanakah yang betul-betul hak dan bukan bathil? Hubungan pusat dan daerah, hubungan pembangunan dibidang ekonomi dengan politik serta batasan sentralisasi dan desentralisasi, yang selalu menjadi kutub-kutub pilihan, bagimana menurut Al-Qur’an?.[29]


Kilas balik dari abad ke abad menunjukkan bahwa negara-negara selatan yang sebagian besar negara Islam, dipermalukan oleh cirinya, yaitu kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan, kendati al-qur’an mengangkat ketiganya dan menanggulanginya dengan sangat mendasar.[30]
Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pemerintahan hanyalah cabang dari suatu ilmu (politik) serta anggapan yang menumpangtindihkan ilmu pemerintahan dengan ilmu administrasi negara, pada gilirannya juga akan tergeser oleh perkembangan ilmu pemerintahan itu sendiri.
Nabi Muhammad saw sebagai tokoh sentral Islam adalah manusia yang berhasil mengangkat masyarakat Arab yang terbelakang dan terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah, menjadi suatu negara dengan sendi-sendi demokrasi.
Musyawarah yang merupakan tonggak demokrasi dalam Al-Qur’an dijadikan nama suatu surah dan ayat dalam surah tersebut (ayat:38) merupakan dasar pemerintahan Islam, kita dapat mengingat pemilihan Abu Bakar menjadi Khalifah dan pidato pelantikan Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab, Ustman Ibn Affan, dan Ali bin Abu Thalib, mereka adalah orang-orang besar disamping Rasulullah (sahabat) yang kemudian memegang tampuk kepemimpinan pemerintahan Islam di Madinah.
Usaha meletakkan dekonsentrasi sejalan dengan desentralisasi, dalam arti harus dijalankan bersama-sama.
Pendemokrasian bila ditujukan untuk kebebasan individu berakibat tidak baik, karena orang yang berjiwa kedaerahan dan membanggakan firqah-firqahnya cendrung sulit di atur, kurang etis dengan sentralnya, lihat India bagaimana secara beruntun mereka membunuh pemimpinnya.[31]
Adapun petunjuk yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an terhadap desentralisasi maupun sentralisasi sangat jelas, yaitu Allah berfirman bahwa sebenarnya berbagai pemisahan kedaerahan yang berlebihan tidak disukai Allah Al Malikul Mulk, begitu juga pemusatan kekuasaan yang berlebihan tidak disukai Allah SWT, karena akan menimbulkan keangkuhan, kesombongan, dan semena-mena, kendati sebenarnya pertanggungjawaban itulah yang dituntut.[32]
Desentralisasi adalah perwujudan pendemokrasian yang besar di daerah, otonomi daerah yang luas tetapi konsekwensinya akan menimbulkan keragaman yang beraneka warna daerah dengan segala spesifikasinya seperti Amerika Serikat sekarang atau Republik Indonesia Serikat tahun 1949 sampai dengan 1950. pengawasan pusat terhadap daerah di Indonesia mulai digeser dari paradigma kekuasaan (UU No. 5 Tahun 1974) menjadi paradigma pelayanan (UU No. 22 Tahun 1999)[33]
Kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan eksesif. Ada korelasi positif antara tingkatan hierarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan (power).[34]
Pada hal sebaliknya desentralisasi akan menciptakan administrasi yang relatif fleksibel, inovatif, dan kreatif, karena dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut muncul kreasi, keinginan untuk maju berkembang serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan kedaerahan.
Secara ideal pendidikan Islam berfungsi membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi sekaligus beriman dan beramal saleh. Pendidikan Islam diperlukan sebagai suatu upaya dalam pengembangan pikiran, pemantauan prilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya.[35]
Seiring dengan tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah yang tunduk dan patuh kepada Sang Khaliq (pengabdi) dengan mengacu pada ajaran Islam yang dilakukan secara personal dan kolektif.
Ayat yang mendukung (QS:13:11) “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada dalam diri mereka (sikap mental mereka). Manusia dibekali kekuatan fisik dan berfikir, mewujudkan perubahan dengan kekuatan fisik maupun nalarnya, manusia punya potensi besar dan istimewa melaksanakan tugas sejarah : Reformasi.[36]

E. Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan
Untuk menciptakan masyarakat negara yang demokratis, seyogiyanya melalui perbaikan kualitas pendidikan. Semakin tinggi pendidikan suatu bangsa, maka semakin tinggi pula tingkat demokrasi bangsa itu.
Hadiyanto menyatakan,[37] dibalik keinginan yang besar dengan digulirkannya desentralisasi pendidikan atau permasalahan yang muncul dilapangan berkaitan dengan :
1. Kesiapan Mental

Kesiapan mental para pelaku dan penyelenggaraan pendidikan, belum sepenuhnya mencerminkan kesediaan dan keinginan dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan. Hasil penelitian di Yogyakarta menyimpulkan bahwa beberapa di daerah, secara mental dan structural bangsa Indonesia belum siap untuk menghadapi otonomi pendidikan. Meskipun otonomi pendidikan sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, Kepala Sekolah dan Jajaran Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum sinkron.
Contoh: Aplikasi Manajemen berbasis Sekolah (MBS) yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan lewat peningkatan mutu guru dan manajemen sekolah, amsih sebatas wacana. Aliran dana untuk program MBS, sejumlah 80 persen terserap untuk menggaji guru (suara pembaharuan, 3 Februari, 2002). Apabila situasi yang demikian itu tidak ditangani secara komprehensif, maka yang akan terjadi hanyalah menambah beban penyelenggaraan pendidikan yang jalannya sudah terseok-seok.

2. Kesiapan Sumber Daya manusia

Membicarakan tentang sumber daya mansuia maka tidak terlepas dari pembicaraan link and match, yaitu pemerataan, kualitas, relevansi dan efisiensi. Sumbar Daya Manusia berperan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping hal-hal yang menyangkut prasarana dan wahana yang diperlukan[38]
Sumber Daya manusia sebenarnya merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi pendidikan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Otonomi ditafsirkan sebagai kesempatan berbuat semaunya sendiri, sesuka hati, bahkan cendrung sangat egosentris. Otonomi diartikan sebagai kesempatan untuk menjadi raja-raja kecil di daerah (pasca reformasi).
Pencapaian suatu tujuan tidaklah mudah untuk dilakasankan dan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, seyogiyanya prakarsa timbul dari pemerintah daerah sendiri dengan meninggalkan cara-cara yang lebih banyak menimbulkan kegagalan dari pada keberhasilan. Sebab otonomi akan memeprmudah melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Otonomi dengan titik berat upaya pemberdayaan (empowerment) agar semakin mandiri dan berkualitas dalam proses pendidikan Islam. Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.
Secara ideal pendidikan Islam berfungsi dalam persiapan SDM yang berkualitas tinggi, baik dalam penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral dan penghayatan dan pengamalan ajaran agama.[39]

3. Kesiapan Sumber Dana
Kesiapan sumber dana atau keuangan merupakan masalah yang paling krusial dalam perbaikan pendidikan di Indonesia, meskipun pemerintah telah berupaya keras merencanakan menaikkan persentase anggaran pendidikan nasional menjadi minimal 20 persen dari APBN, sesuai dengan UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang system pendidikan nasional.
Desentralisasi pengelolaan pendidikan di Indonesia disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkait dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal.
Paqueo dan Lammert J menunjukkan alas an desentralisasi peneyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia yaitu karena alasan 1) Pembiayaan pendidikan,2) peningkatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan,3) redistribusi kekuatan politik,4)Peningkatan kualitas pendidikan,5)Peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[40]
Sumber dana masyarakat muslim untuk pendidikan Islam dapat digalang melalui zakat, infak dan sedekah serta waqaf dan lain-lain. Perkembangan histories kelembagaan pendidikan / perguruan Islam yang hampir sepenuhnya bersandar pada komunitas muslim sendiri (swasta), bukan pemerintah (negeri), seperti itu terlihat jelas dalam peta pendidikan Indonesia sekarang ini.[41]
Islam dalam pergulatan sejarah pendidikannya, sangat mempertimbangkan aspek finansial dalam menentukan arah kebijakan pendidikan, sumber dana pendidikan Islan mulanya bersumber dari dana swadaya masyarakat muslim. Hal ini tergambar dalam proses pendidikan di lembaga-lembaga seperti Masjid, Surau, Langgar dan lain sebagainya. Baik berupa infak sedekah dan lain sebagainya untuk tujuan ibadah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

F. Penutup
Kesimpulan
Lembaga Pendidikan Islam, terutama pendidikan tingginya harus melakukan pembaruan dalam penyelenggaraannya di mana kerja akademik harus ditonjolkan dan menjadi basic kerja. Birokrasi administrasi harus berparadigma akademik. Untuk mencapai penguatan Kerja Akademik di Lembaga Pendidikan Islam, khususnya pendidikan tinggi diperlukan kerja keras mengikuti alur pendekatan sistem dalam pendidikan. Lembaga Tinggi Pendidikan Islam yang dengan otoritas keilmuan dan memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya, hendaknya menjadikan proyek penguatan kerja akademik ini sebagai salah satu langkah membangun pendidikan Islam menjadi lebih baik, dan pada gilirannya melahirkan generasi yang Ramatan lil ‘Âlamîn.
















Daftar Pustaka

1. Hasbullah, Otonomi Pendidikan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007

2. Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 cet. Pertama

3. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia) Jakarta: Pradya Paramita, 2004 cet. 2

4. Inu Kencana Syafe’I, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004, cet. Pertama

5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990

6. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005

7. Inu Kencana Syafe’I, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994

8. Tumpal P. Saragi, Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Alternatif Pemberdayaan Desa, Jakarta: CV. Cipiruy, 2004

9. Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003

10. Kaelany HD. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000 cet. I

11. Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik Kaum Tikus, Jakarta:Edsa Mahkota, 2005

12. H.A.W. Widjaja, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998



[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. hal. 56
[2] Abdul Rahman an-Nawawi, di dalam bukunya 'Pendidikan Islam: Di Rumah, Di Sekolah dan Masyarakat
[3] Hasbullah, Otonomi Pendidikan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 7
[4] Asnawir, Manajemen Pendidikan, IAIN IB Press, 2006., hal. 129
[5] Asnawir, Ibid., hal. 129
[6] Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 cet. Pertama, hal. 23
[7] C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia) Jakarta: Pradya Paramita, 2004 cet. 2 hal. 113
[8] Inu Kencana Syafe’I, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004, cet. Pertama, hal. 108
[9] Kansil, Ibid hal. 115
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hal. 195
[11] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005., h. 244
[12] Hasbullah, Ibid., hal 244
[13] Abdul Rahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Visi Misi dan Aksi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006., hal. 133
[14] Inu Kencana Syafe’I, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. hal. 94
[15] Asnawir, Ibid., hal. 130
[16] Ibid., hal. 14
[17] Tumpal P. Saragi, Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Alternatif Pemberdayaan Desa, Jakarta: CV. Cipiruy, 2004, hal. 57
[18] Hasbullah, Ibid., hal. 56
[19] Asnawir, Ibid., hal. 140
[20] Asnawir, Manajemen Pendidikan, IAIN IB Press, 2006., hal. 146
[21] Ibid., hal. 146
[22] A.M. Kadarman dan Jusuf Udaya, Pengantar Ilmu Manajemen, Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996., hal. 10
[23] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002., hal. 216
[24] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002., hal. 215
[25] Ramayulis., Op-cit., hal. 216
[26] Hasbullah, Op-cit., 148
[27] Asnawir, Ibid., hal. 133
[28] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 167
[29] Inu Kencana Syafe’I, Ibid., h. 21
[30] Ibid., hal. 21
[31] Inu Kencana syafe’I, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, hal. 113
[32] Ibid., hal. 114
[33] Ibid., hal. 110
[34] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 11
[35] Kaelany HD. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000 cet. I hal. 241
[36] Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik Kaum Tikus, Jakarta:Edsa Mahkota, 2005, hal. 100
[37] Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakrta: Rineka Cipta, 2004. cet. Pertama., hal. 50
[38] H.A.W. Widjaja, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998 hal. 20
[39] Azyumardi Azra, Ibid., h. 56-57
[40] Hadiyanto, Ibid., hal. 47
[41] Azyumardi Azra, Ibid., h. 152

Tidak ada komentar: