Selasa, 04 Maret 2008

Korupsi Ala Dunia Peradilan

Tengah malam saya menerima short massage system (SMS) dari seorang kawan lama. Seorang saudaranya ditahan kepolisian karena tuduhan penggelapan. Ia menanyakan apakah benar biaya untuk perdamian agar kasus tidak berlanjut adalah sebesar Rp 2 juta rupiah.

Lebih kurang tiga minggu sebelum artikel ini ditulis, saya juga kedatangan seorang rekan yang membawa familinya berkunjung ke rumah. Keluarga sahabat saya ini menceritakan keluh kesahnya berurusan dengan aparat hukum sewaktu ia ditahan karena tuduhan tindak pidana kepabeanan. Ia dimintai uang sampai Rp50 juta untuk menghentikan perkara, padahal nilai barang yang disita kepolisian hanya sekitar Rp20 juta! Permintaan ini belum dikabulkan. Hingga beberapa hari berselang, oknum aparat penegak hukum yang meminta uang tersebut meralat jumlah uang yang diminta karena kasusnya sudah “naik” dan tidak mungkin lagi dihentikan kecuali hanya mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Dan Rp10 juta untuk biaya penangguhan penahanan itu.

Cerita di atas hanya sekelumit saja dari keseluruhan pengalaman penulis berinteraksi dengan dunia hukum yang, sayangnya, lebih didominasi oleh cerita dengan para mafia. Sangat banyak modus lain untuk diceritakan. Besar kemungkinan juga pararel dengan pengalaman sesama praktisi hukum lain. Pada intinya terlalu banyak ketidakpastian dalam dunia peradilan di Indonesia. Ketika advokat, polisi, jaksa, hakim, panitera, pegawai pengadilan adalah pihak-pihak terkait penegakan hukum yang memiliki pengaruh dan kewenangan yang sangat terbuka untuk disalahgunakan demi kepentingan pribadi.

Tahap sebelum dimulainya penyidikan atau dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) adalah satu hal yang sangat krusial. Pada tahap ini, penetapan siapa yang akan dijadikan saksi atau siapa yang akan dibidik jadi tersangka adalah kewenangan sepenuhnya aparat hukum. Bila aparatnya berhati baik dan berintegritas, tidak ada masalah. Susahnya jika aparatnya berjiwa mafia, habislah para saksi atau (calon) tersangka diperasi oleh sang mafia yang tahu betul kelemahan saksi yang takut jadi tersangka atau tersangka yang sangat takut ditahan.

Ketika seseorang sudah ditetapkan jadi tersangka pun masih ada celah untuk “nego” dengan tersangka agar tuduhannya diperingan atau pasal yang digunakan diubah lebih rendah ancaman hukumannya.

Penegak hukum yang mafia juga dapat “main mata” dengan korban atau keluarga korban supaya diberi sejumlah uang agar tersangka diperberat tuduhannya atau digunakan pasal berlapis agar tersangka tidak bisa lolos. Dengan kata lain, ada uang maka perkara lancar, tidak ada uang ya tahu dirilah.

Psikologi para tersangka/terdakwa dapat “dimanfaatkan” secara maksimal. Dimana para tersangka/terdakwa atau penasehat hukumnya akan cenderung berjuang bagaimanapun kerasnya agar bisa lolos dari jerat hukum. Bagi yang berhati lurus, tentu jalur hukum normal akan dilaluinya. Ia tidak akan mau “nego” dengan oknum penegak hukum mafia, melainkan terus berjuang di jalur normal hingga memiliki peluang mendapatkan keadilan dari majelis hakim, bilapun tidak didapatnya maka ia akan banding dan seterusnya sampai keadilan ia dapatkan. Setiap orang, walaupun jelas melakukan kesalahan, berhak mendapatkan ganjaran hukuman yang adil atau setimpal dengan kesalahannya.

Namun bagi yang berhati bengkok atau ragu-ragu, suap atau sogok bisa jadi halal baginya. Ia mengalah dengan tekanan psikologis aparat mafia.

Oknum polisi, jaksa atau hakim yang disuap bisa saja berdalih bahwa mereka tidak minta uang akan tetapi tersangka/terdakwa dan pengacaranyalah yang “menggoda” mereka dengan uang sogokan. Benarkah demikian? Bagaimana dengan kewenangan yang melekat pada penegak hukum ini, bukankah mereka penentu final apakah mau disogok atau tidak karena toh ia yang punya kewenangan. Di atas semua itu, baik tersangka/terdakwa dan advokat yang memberikan suap maupun oknum polisi, jaksa dan hakim yang menerima suap harusnya semua mendapat hukuman yang setimpal.

Jual-beli putusan pun bukan isapan jempol. Begitupun dengan ketidakjelasan patokan biaya dan waktu pengurusan pendaftaran surat kuasa di pengadilan, sidang lapangan, pengurusan/turunnya salinan putusan, eksekusi dan sejenisnya; karenanya sangat terbuka celah bagi hakim dan pegawai pengadilan untuk “memeras” para pencari keadilan.

Bisa dibayangkan bagaimana murkanya Tuhan menyaksikan perilaku para wakil-Nya (baca: hakim) di muka bumi yang mempermainkan keadilan demi uang. Kerusakan bagaimana lagi yang lebih parah manakala wakil Tuhan saja sudah berani jual-beli putusan. Kalau sudah begini, di dunia tidak ada lagi benteng terakhir keadilan karena pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan sudah jebol. Kalau suatu umat sudah demikian zalimnya, maka azab Tuhan biasanya mengintai.

Karena itu, sebenarnya, bukan permasalahan kurangnya aturan hukum yang jadi problem utama penegakan hukum di negeri ini; bukan ketidaan undang-undang sehingga korupsi, terorisme, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat merajalela; melainkan karena defisit moralitas dan integritas penegak hukum. Sulit dibayangkan penegak hukum yang suka meminta uang atau gemar menerima sogokan akan dapat menegakkan hukum secara benar dan adil.

Kita sudah cukup lengkap memiliki berbagai undang-undang untuk memberantas apapun jenis kejahatan di republik ini. Yang kurang justru penegakan undang-udang tersebut dalam suatu aksi nyata. Kita defisit penegakan hukum.

Harusnya, stop memproduksi undang-undang kalau akhirnya toh inflasi! Alihkan energi. Bagaimana caranya agar bangsa ini mampu memproduksi sebanyak mungkin penegak hukum yang berintegritas. Dimulai dari pendidikan, dilanjutkan di sistem perekrutan yang anti KKN, dan terus dibina setelah jadi penegak hukum serta pemidanaan yang keras bagi para mafia peradilan.[]

* Sutomo SH, praktisi hukum di Padang.

Tidak ada komentar: