Selasa, 04 Maret 2008

Discresionare Power Pejabat Publik


Oleh Sutomo


APA JADINYA bila pejabat publik tidak mau mengambil inisiatif atau terobosan dalam era otonomi daerah, hanya karena takut diseret dalam jeruji besi dengan tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ia menelikung resiko dan cenderung cari aman.

Yang pasti akan terjadi adalah, daerah akan stagnan. Namanya saja otonomi daerah, tetapi yang terjadi malahan pemerintah daerah akan membebani masyarakat dengan berbagai pungutan demi menambah pendapatan asli daerah (PAD) untuk pembangunan dan belanja pegawai. Sebab Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat jumlahnya terbatas sekali. Dimana, sialnya, justru kecenderungan ini yang terjadi di era otonomi daerah sekarang.


Penyimpangan

Dengan demikian otonomi telah terdistorsi menjadi kebebasan derah untuk mengadakan berbagai pungutan. Eksesnya, ekonomi menjadi berbiaya tinggi. Dan, sasaran otonomi jelas jauh panggang daripada api.

Sementara, pejabat publik yang kreatif, inovatif, pembuat terobosan, berani mengambil resiko demi mengatasi keadaan darurat di daerahnya, justru rentan dipermasalahkan secara hukum dengan tuduhan klasik bernama korupsi.

Padahal, era otonomi daerah meniscayakan pejabat publik harus berani mengambil peran lebih, berinisiatif, pembuat terobosan, dan berani mengambil resiko atas kebijakan yang diambilnya. Ini karena sebagian besar urusan yang dulu menjadi kewenangan pusat sekarang sudah beralih menjadi kewenangan daerah. Tanpa memaksimalkan kewenangan ekstra besar tersebut maka tidak ada relevansi otonomi daerah, ekstremnya, sekalian saja kembali ke sistem sentralistis sebagaimana erah Orde Baru dahulu.

Demikian besar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, adalah merupakan kewenangan daerah [vide Pasal 10 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah]. Kewenangan derah (provinsi dan kabupaten/kota) yang menjadi urusan wajib meliputi 16 item sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 dan 14 UU Pemda.

Tanpa insiatif dan terobosan revolusioner, mustahil dapat menjebol sumbatan-sumbatan kultur dan birokrasi, sehingga dapat mendatangkan investor, menciptakan lapangan kerja (mengurangi pengangguran), mengatasi kemiskinan, dan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat daerah.


Urgensi deskresi

Melalui pemberian kewenangan yang besar pada derah, yang diikuti dengan pemberian ruang yang luas bagi pejabat publik khususnya kepala daerah untuk berkreasi melaksanakana otonomi daerah, maka terasa demikian besar urgensitas perlindungan hukum terhadap diskresi pejabat publik. Tanpa diskresi, pejabat publik akan terpasung dalam kekakuan melaksanakan peraturan perundang-udangan secara rigit, yang cenderung terjebak melahirkan berbagai pungutan pada masyarakatnya. Sasaran otonomi daerah jelas sulit tercapai dengan cara demikian.

Kekuasaan untuk melakukan diskresi (discresionare power) secara ringkas dapat didefinisikan sebagai, kebebasan pejabat publik mengambil keputusan/kebijakan menurut pendapat sendiri. Jadi, intinya adalah kewenangan bebas. Tujuannya untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh perundangan yang ada (tidak ada pengaturan, ada pengaturan tapi abu-abu, dan seterusnya), atau karena keadaan mendesak.

Contohnya, disebut sedang melakukan kewenangan bebas (diskresi) manakala polisi lalu lintas menerabas lampu merah saat mengejar pelanggar lalu lintas; bupati yang berkreasi membuat semacam program untuk mendatangkan investor; kepala daerah yang pada keadaan tertentu mengambil alih salah satu tugas pokok dan fungsi seorang kepala dinas karena bawahnnya ini dianggap lalai; atau kepala daerah yang menghapus kebiasaan penyambutan berlebihan pada saat kunjungan kerja; dan lain-lain.

Dalam pengertian lain, kepala daerah bisa pula dikatakan sedang melakukan diskresi manakala ia dengan begitu sigapnya dalam hitungan detik melakukan konsolidasi dan menggalang dana dari dalam dan luar daerah untuk membangun kembali Istano Pagaruyung—hal yang sama kurang terlihat untuk mengatasi bencana alam, busung lapar, kemiskinan, dan penggangguran; mengesampingkan peraturan yang ada demi pembangunan sebuah kafe terapung; atau kongkalingkong dalam proses tender pengadaan barang/jasa pemerintah.

Kewenangan yang hampir mirip dengan diskresi pejabat publik adalah apa yang disebut dengan freis ermessen. Yakni kewenangan yang sah pejabat publik untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.

Kewenangan diskresi atau freis ermessen ini dibenarkan dalam konsepsi hukum administrasi negara. Suatu yang merupakan keharusan bagi sebuah negara dengan konsep negara kesejahateraan (welfare state). Di Indonesia sekarang telah ada usaha-usaha untuk memasukan kewenangan bebas ini dalam Rancangan Undang-Undang Aministrasi Pemerintahan.

Sebenarnya, secara teoritis, pengaturan kewenangan bebas dalam sebuah undang-undang dengan sendirinya melumpuhkan esensi kewenangan bebas tersebut. Sebab, bukan lagi kewenangan bebas namanya mana kala ia telah dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang.


Batasan diskresi

Meskipun pemberian kewenangan bebas merupakan konsekuensi logis dari konsep welfare state, namun bukan berarti ia tanpa masalah. Karena dengan adanya kewenangan bebas maka pada saat yang sama berarti terbuka celah bagi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara.

Karena itulah, pelaksanaan kewenangan bebas wajib mematuhi rambu-rambu, yang dikenal dengan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yakni meliputi kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Sepanjang rambu-rambu AUPB ini diterapkan dalam melakukan diskresi, maka pejabat publik yang bersangkutan tidak bisa dipersalahkan baik secara administratif maupun politis. Pengujian terhadap keabsahan pelaksanaan AUPB tersebut adalah melalui mekanisme gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 25 RUU Administrasi Pemerintahan mengatur pembatasan diskresi pejabat publik. Pasal itu menyebutkan pejabat administrasi pemerintahan harus menggunakan diskresi dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan, wajib memerhatikan tujuan pemberian diskresi, batas-batas hukum yang berlaku serta kepentingan umum. Selain itu, diskresi dilakukan dengan batas-batas, tidak bertentangan dengan hukum dan HAM, tidak bertentangan dengan perundang-undangan, wajib menerapkan AUPB, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta kesusilaan.


Penutup

Diksresi pejabat publik merupakan salah satu roh otonomi darerah. Pejabat publik dituntut untuk berani melakukan diskresi dengan memperhatikan AUPB. Kalaupun terjadi kesalahan dalam pelaksanaan diskresi, dan sepanjang kesalahan tersebut bersifat administratif/politis, maka sanksi yang proporsional adalah bersifat administratif/politis, bukan sanksi pidana. Penentuan bersalah/tidak dalam melaksanakan diskresi tersebut harus melalui putusan hakim di Pengadilan TUN. Berbeda halnya jika kesalahan dalam melaksanakan diskresi tersebut memenuhi unsur-unsur korupsi, dimana pertama-tama harus melalui (dibuktikan terlebih dahulu oleh) audit BPK, maka barulah pejabat yang bersangkutan bisa diproses secara hukum.[]

* SUTOMO SH, praktisi hukum di Padang.



Tidak ada komentar: