Jumat, 09 Mei 2008

DERITA PETANI DAN KORUPSI DI LUMBUNG BERAS

WACANA : KEMBALI KE KOMPETENSI!


Fakta, Wacana menghilangkan propinsi adalah diskusi populer yang belakangan ini muncul di Sumatera Barat. Barang kali karena wacana ini ditelorkan oleh Gamawan Fauzi yang nota bene adalah Gubernur Propinsi Sumatera Barat.
Di negeri ini sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warganya untuk mengemukakan ide, pikiran dan pendapat. Konstitusi dan undang-undang menjamin semua itu. Bahkan berwacana, bermimpi, berkhayal dan mengawang-awang sekalipun adalah hak yang bersangkutan masing-masing warga negara. Kalaupun misalnya ada yang “gila” karenanya, mungkin juga tidak jadi soal. Semua warga negara katakanlah, pejabat, parktisi, akademisi dan masyarakat badarai boleh-boleh saja untuk mengeluarkan ide, pikiran dan pendapat.
Namun bisa saja wacana menjadi persoalan atau bias, bahkan menjadi kontarproduktif dan menyimpang bila tidak disalurkan dengan tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi, dalam istilah Minang tidak berkesesuaian dengan alur dan patut (alua jo patuik). Dalam istilah orang Maninjau sana disebut dengan istilah kompetensi. Kewenangan atau kompetensi inilah yang menarik dicermati bila dikaitkan dengan polemik atau perdebatan serius soal penghilangan eksistensi propinsi (otonom) yang terlanjur kepermukaan belakangan ini.
Sebagai ilustrasi sederhana mengambil contoh di pengadilan, maka tugas hakim yang pertama adalah memeriksa soal kompetensi gugatan atau dakwaan, apakah pengadilan berwenang atau tidak untuk mengadili sebuah perkara. Bila pengadilan berwenang, maka pemeriksaan lanjutan baru bisa dilakukan. Jadi bila mengambil pelajaran dari prosedural hukum di pengadilan, nampaknya penting bagi semua pihak agar memahami soal kompetensi ini lebih awal.
Bagi Gamawan sebagai Gubernur dan Kepala Daerah propinsi Sumatera Barat masih patutkah disaat ini, ketika rakyat sedang susah, petani dihadang impor beras, tanah ulayat yang kusut tak kunjung selesai, banyak bencana dan wabah, ekonomi morat-marit, korupsi yang meraja-lela, toh masih sempat-sempatnya berwacana? Apakah tidak terlalu naif, atau kebablasan? Sebab sungguh ironis, mengingat pekerjaan pokok di daerah belum terselesaikan dengan baik, sementara pak gubernur sibuk berwacana ria, yang sebenarnya lebih tepat dilakukan oleh seorang akademisi atau pejabat politik di Jakarta. Berbicara soal negara hari ini agaknya terlalu luas bagi seorang Gamawan, karena Gamawan belumlah teruji soal ini. Wajarlah bila Abel Tasman mempertanyakan implementasi kinerja Pak Gamawan terlebih dulu. Artinya berbuatlah terhadap daerah ini terlebih dahulu, baru berwacana menyusul kemudian bila sudah bekerja dan berprestasi.
Agaknya masyarakat masih sedang menunggu dan menguji kinerja Pak Gubernur yang relatif masih panjang . Apa lagi sampai sekarang ini masih banyak persoalan krusial di daerah yang belum terlaksana dan beberapa agenda di daerah yang terbengkalai total. Misalnya soal PP 84, pembangunan sektor riil yang awut-awutan, pembangunan fisik yang belum terkesan rafi (tambal sulam), efisiensi dan efektivitas pemerintahan ( STOK yang mubajirun), umumnya masih banyak yang belum bisa dilakukan oleh Pak Gamawan sebagai Gubernur Sumatera Barat yang dipilih secara langsung.
Mbok ya..besabarlah dulu Pak Gamawan, pemerintahan baru saja berjalan dua tahunan. Implementasi program kerja dan janji-janji terhadap rakyat ketika kampanye dulu masih jauh panggang dari api. Biarlah soal wacana yang menyangkut sistem pemerintahan dan bentuk negara ini dipikirkan oleh akademisi atau pakar yang kompeten dibidangnya atau para politisi Senayan Jakarta saja.
Yakinlah bila Pak Gamawan sedikit bersabar, dan bekerja giat untuk kebaikan rakyat, khususnya daerah Sumatera Barat ini, maka tunggulah keajaiban-keajaiban seperti sebelumnya selalu Pak Gamawan alami sendiri, begitu banyak keberuntungan dan berkah yang selalu datang dengan sendirinya, untuk itu saya termasuk yang mendo’akan selalu agar Pak Gamawan sukses dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya sehari-hari.
Bila belajar dari kasus Gus Dur misalnya, maka pemerintahannya yang sibuk berwacana saja tidaklah laku dimata sebagian rakyat, sehingga beliau sendiri bisa lengser secepatnya ditengah jalan. Saya jadi curiga, Gus Dur ini juga salah ketika menerapkan kompetensi. Seharusnya pekerjaan presiden, gubernur, bupati/walikota (eksekutif) itu adalah menjalankan program kerja, implementasi dilapangan, sangat teknis memang, tapi bukanlah mengedepankan wacana saja, apa lagi seolah-olah wacana itu menjadi keutamaan. Padahal semuanya itu kebohongan publik semata.
Bagi Pak Gamawan mumpung masih banyak waktu, belum separah Gus Dur dan barangkali juga SBY, maka saran saya masih banyak pekerjaan yang sesegeranya harus dikerjakan, mulai sekarang ini marilah kita sedikit bicara, tapi banyak kerja (istilah Ibu Megawati rasanya masih relevan dan signifikan).
Biarlah SBY sibuk dengan pencitraannya, yang Pak Gamawan bekerja sajalah untuk daerah ini. Mudah-mudahan nanti Pak Gamawan bisa juga jadi menteri atau bahkan jadi presiden sekalian. Wait and see.. Wallahu Allam.***
Penulis adalah Advokat, Politisi PBB dan Dosen STIH Padang















DERITA PETANI DAN KORUPSI DI LUMBUNG BERAS


Fakta, Sekitar lima abad yang silam, bangsa-bangsa Asia seperti Cina, India, Persia dan Eropa sudah melakukan perdagangan dan berinteraksi langsung dengan penduduk-penduduk pribumi diseluruh pelosok nusantara, karena sedari dulu bangsa ini sudah dikenal sebagai negeri yang sangat kaya, subur dan melimpah sumber daya alam. Terutama hasil bumi maupun hasil pertaniannya, seperi kopra, cendana, gaharu, kopi dan rempah-rempahan.
Dalam cerita Jawa negeri ini dulu disebut dengan, “gemah ripah loh jenawi”. Bahkan dalam dendang anak negeri tahun 60-an disebut pula “negeri kolam susu”. Negeri yang luar biasa, bagaikan sepotong sorga yang diturunkan Tuhan dari langit.
Betapa banyak kisah dan sebutan-sebutan tentang negeri ini yang sangat indah dan elok. Namun kisah dan sebutan ini tidak selalu seindah namanya, malah justru sering kali membawa persoalan dan petaka besar bagi kehidupan rakyatnya. Hampir sepanjang masa, rakyatnya selalu hidup miskin, melarat dan menggenaskan, karena lama terjajah, baik oleh bangsa asing maupun oleh bangsa sendiri.
Apapun nama dan kisahnya, entah karena kebodohan semata, “kufur nikmat”, sungguh telah “menina-bobokkan” bangsa ini dalam waktu yang sangat lama. Bangsa ini tertidur pulas dihamparan “permadani hijau”, terhipnotis oleh “hembusan angin sepoi-sepoi basah khatulistiwa” dan terhanyut oleh “rayuan pulau kelapa”-nya.
Ironisnya semua itu hanyalah mimpi belaka, nyatanya nasib dan kehidupan para petani dinegeri ini tak seindah mimpi yang datang disetiap tidur mereka, karena realitanya, ketika mereka terbangun dan menghadapi kenyataan hidup mereka yang sebenarnya, justru kehidupan mereka sangatlah memprihatinkan dan menggenaskan.
Sungguh memuakkan, “terlahir sebagai petani di Indonesia, karena status kehidupan ini dipandang sangat rendah dan sebelah mata. Menjadi petani berarti siap untuk menderita. Bahkan dalam kondisi yang sangat tertekan sekalipun, mereka petani-petani melarat masih dihadapkan dengan harga pupuk yang terus melambung tinggi, ancaman gagal panen, karena pengaruh iklim yang tidak kompromi akibat pemanasan global, bencana alam banjir, longsor, gunung meletus dan gempa yang tiada henti, ancaman hama, ditambah segudang regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada para petani.
Banyak sawah sekarang dipelosok-pelosok negeri dibiarkan terlantar oleh yang empunya, karena ongkos produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah membuat petani separo hati untuk menjadikan sawah-sawah mereka. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berarti mereka hendak mencari untung, tapi cuma sekedar mengisi hari-hari dan mencoba menghalau kegundahan yang menyelimuti mereka seharian, siang maupun malam.
Kebijakan negara mengimpor beras untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental dan kinerja petani. Negara ini lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor beras, ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam dengan harga yang tinggi dilakukan dengan mekanisme impor berlabel subsidi. Ironisnya impor tersebut semuanya adalah memakai dana APBN yang nota bene adalah hasil pajak, cucuran keringat rakyat sendiri yang mana beras impor itu kemudian didistribusikan ke pasaran dalam negeri dengan harga yang murah, berdalihkan subsidi untuk rakyat, dengan program berkedok raskin, operasi pasar, beras murah dan sebagainya.
Regulasi terhadap impor-mengimpor beras dan praktek subsidi dilakukan negara dengan alasan agar harga beras murah dan terjangkau oleh rakyat. Dengan demikian, kebijakan impor beras, membuat seolah-olah negara peduli terhadap rakyat dan turut membantu rakyat miskin untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kebohongan-kebohongan itupun terus terjadi, bahkan semakin terlegitimasi dengan alasan bahwa daya beli rakyat memang sangat rendah, maka dengan alasan tersebut pula, maka negara berkewajiban untuk memberi subsidi.
Tetapi sebenarnya dibalik semua itu, kebijakan impor berlabel subsidi tesebut menimbulkan kerugian yang sangat besar, karena parahnya telah mematikan jiwa dan semangat bertani para petani – yang menjadi penghuni secara mayoritas di negeri ini. Bahkan diluar itu sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek impor beras sangat sarat dengan praktek korupsi. Faktanya sampai hari ini banyak kasus korupsi hebat yang terungkap di Bulog maupun diberbagai lembaga, instansi lainnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok pangan rakyat.
Pada hal sebenarnya, bila harga beras dan produk pertanian lainnya petani tinggi, katakanlah memadai atau sesuai dengan harga standar di Asean, maka rakyat Indonesia sebenarnya bisa lebih sejahtera, karena bisa mengekspor beras dan produk pertanian lainnya itu dengan harga bersaing. Sebab dengan harga yang baik, logikanya petani akan bergairah kembali mengerjakan sawah-sawah mereka. Bahkan kalau semua pabrikan di Kerawang, Serang dan Banten kembali beralih fungsi dan peruntukannya seperti semula, maka kawasan itu bisa kembali menjadi lumbung pangan nasional dan negara ini bisa kembali swasembada pangan.
Dengan alasan demikian, perlu dipertanyakan, kok bisa dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Negara yang dikenal agraris, tanahnya subur, justru kerja pemerintah dan aparatusnya hanya mengimpor beras, jagung, gula, kacang tanah, kacang kedele, jeruk, durian dan lain-lain sebagainya, mana kala semuanya itu bisa ditanam di Indonesia. Bukankah seharusnya sebagai negara agraris, Indonesia cukup konsisten mengekspor produk-produk pertanian saja, karena eksistensi Indonesia dengan keunggulan alamiahnya (comparative adventage), mencakup seluruh produk-produk pertanian tropis tak pernah terbandingkan dengan bangsa-bangsa lain dibelahan dunia manapun.
Lagi pula, tugas menteri perdagangan Indonesia, sudah seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropis, karena secara komparatif Indonesia unggul dibidang ini. Sementara ekspor barang-barang kebutuhan tertiar (lux), seperti elektronik, sepeda motor, mobil dan barang mewah lainnya yang menjadi andalan industri bangsa lain, ternyata tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena ternyata sedikit pun tidak mampu merubah peningkatan tarap hidup buruh dan secara umum perekonomian rakyat Indonesia. Barang-barang tertier cukuplah diimpor, sebab selama inipun kehidupan industri Indonesia, hanyalah industri “tukang jahit”, atau dikenal dengan industri perakitan. Dimana oleh negara pemodal (investor), membangun pabrik di Indonesia adalah untuk tujuan effisiensi dan efektivitas produknya agar lebih menguntungkan secara ekonomis, karena upah buruh yang murah selain juga lebih mendekatkan dengan pangsa pasarnya.

Korupsi di Lumbung Pangan
Betapa malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah petani dirugikan karena mereka mengeluarkan ongkos produksi yang mahal, mereka pun tidak bisa menjual hasil pertaniannya sedikit diatas ongkos produksi itu. Bahkan sebenarnya sangat aneh, karena subsidi yang diberikan negara ini, justru yang menikmati hasilnya adalah negara asal pengimpor yang tentu saja banyak mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yang dilakukan aparatus Bulog bersama rekananannya, ketika membeli beras maupun disaat mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.
Bahkan sungguh luar biasa, praktek korupsi yang terjadi disekitar impor beras cukup dihitung dengan asumsi dan logika yang sederhana. Bulog sebagai perpanjangan tangan negara bisa saja membeli beras ke negara tetangga dengan harga Rp. 5.000 perkilogram dengan memakai uang APBN, itu pun biasanya hanya tertulis dalam bentuk kuitansi, sementara bayaran yang sebenarnya diterima importir cuma Rp. 4.500 perkilogram. Korupsinya sudah bisa dibayangkan sekitar Rp. 500 perkilogram. Lalu bila beras impor tersebut sampai ditangan Bulog, kemudian beras tersebut didistribusikan ke rekanan dan distributor dengan harga yang sudah disubsidi oleh negara Rp. 1.500 perkilogram, menjadi sebesar Rp. 3000, maka disinilah sekali lagi Bulog “panen” mendapatkan komisi dari distribusi ini, karena diam-diam juga menerima komisi Rp. 200 perkilogram dari para distributor dan rekanan.
Sementara oleh distributor dan rekanan pada akhirnya harga beras impor tersebut dijual dipasaran dengan harga berpluktuasi sekitar Rp. 3.500 perkilogram. Dengan berdalih praktek stabilisasi harga ala Bulog dan pemerintah, maka berakibat harga gabah petani lokal pun anjlok. Pada hal supaya untung seharusnya gabah petani harus terjual Rp. 5000 perkilogram sebagaimana juga Bulog membeli ke negara tetangga, tapi karena masuknya beras impor, maka terpaksa menyesuaikan dengan harga pasar menjadi sekitar Rp. 3.500 sampai Rp. 4000 perkilogram. Dari kisah sederhana ini secara gamblang dapat kita duga paraktek korupsi yang dilakukan oleh koruptor atau tikus-tikus dilumbung pangan. Bila asumsinya dalam sebulan Bulog mengimpor 200.000.000 kilogram beras, maka uang rakyat yang dikorupsinya adalah sekitar dua milyaran perbulan. Bukankah itu sebuah angka yang sangat fantastis?
Memang aneh, di negeri yang terus nestapa karena korupsi dan dililit utang, buruh dan abdi negara seperti PNS, TNI/POLRI digaji sangat murah, hingga mereka pun tak mampu beli beras yang harganya sedikit saja memberi untung bagi petani. Demi melindungi 20% buruh murah dan abdi negara ini, maka pemerintah tega mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan segala-galanya kehidupan masyarakat tani yang mayoritas 80% sebagai penghuni tetap di negara ini.
Harapan kedepan, hendaknya pertanian menjadi andalan dan fokus tetap pemerintah. Buanglah mimpi menjadi negara industri pabrikan, kecuali satu-satunya upaya memodernisasi industri pertanian. Karena pertanian adalah sudah merupakan karunia besar dan takdir Tuhan untuk memakmurkan negara ini.
Jangan sampai bangsa ini berulang kali terpuruk dan jatuh kelobang yang sama. Selama ini buruh dan petani Indonesia hanya dimanfaatkan oleh gerakan kapitalisme global, karena Indonesia adalah pangsa pasar yang empuk, murah didikte kepentingan asing, selain upah buruhnya yang sangat kecil. Akibatnya, dengan upah dan gaji yang kecil, maka buruh, pegawai negeri, termasuk buruh tani tak mampu lagi beli beras dengan harga yang standar atau normal. Paling tidak, kedepan harga beras bisalah memberikan keuntungan sedikit bagi para petani pangan, karena dengan harga-harga produk pertanian yang baik, maka keuntungan bisa diraih oleh petani. Artinya hendaknya negara melalui regulasi dan kebijakannya, memberikan ruang cukup kepada petani agar ada sedikit keuntungan yang mereka dapatkan diluar ongkos produksi yang telah mereka keluarkan.
Sehingga secara berangsur bertahap kedepan, kita bisa mengejar kembali ketertinggalan-ketertinggalan kita dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam yang petani-petaninya jauh lebih sejahtera, karena mereka dari dulu konsekuen sebagai negara agraris. Mereka menikmati dirinya sebagai negara agraris dan negara mereka tidak perlu mengejar target sebagai negara industri pabrikan di Asean, cukuplah mereka menjadi negara agraris saja dengan segala konsekuensinya, dan mereka fokus dengan memodernisasi industri pertanian yang langsung menopang dan mensuport kehidupan petani-petani mereka.
Bila dicermati lebih lanjut, maka uang subsidi dan pembelian beras impor yang telah dikeluarkan negara, itupun sebenarnya juga berasal dari uang rakyat yang seharusnya dikelola oleh negara secara adil dan merata dengan mendahulukan asas kemaslahatan orang banyak. Hendaknya jangan sampai petani kita mati dilumbung padi, apa lagi lumbungnya terkuasai pula oleh tikus-tikus pengerat yang tahinya amat meracuni dan mematikan petani-petani.
Inilah sebongkah kisah sedih petani-petani dinegeri ini. Sepanjang masa kehidupan mereka selalu dikorbankan dan dikeroyok dari berbagai sisi, hingga mereka pun susah untuk bisa bangkit kembali, karena raga mereka disana-sini sudah babak-belur. Namun demikian, para petani pejuang itu masih memimpikan datangnya sang “ratu adil” yang berharap disuatu saat nanti nasib mereka bisa lebih baik. Sembari mereka pun terus berdendang meratapi nasibnya sendiri, menanti datangnya keberpihakan negara yang entah kapan kunjung datang.***
Penulis adalah dosen STIH Padang dan fungsionaris DPW PBB Sumbar.
















PARTAI ISLAM DAN PENEGAKAN SYARIAT ISLAM
Fakta, Sejarah lahirnya Republik ini tidak lepas dari perseteruan politik antara gagasan Islamisme maupun sekulerisme. Secara gamblang kita dapat melihat polemik yang bernuansa ideologis ini berlansung secara intens dan simultan melalui perdebatan serius Soekarno dengan Natsir sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Hingga mencapai puncak, ketika munculnya tragedi Islam-sekularisme di masa Konstituante kurun 50-an.
Situasai terburuk semakin menjadi-jadi pasca dekrit 5 Juli 1959, ketika ruang diskursus (arena berjuang) bagi parpol Islam ataupun gerakan Islamisme lainnya terus menyempit. Sehingga tak dapat dielakkan pada akhirnya sepanjang lintasan orde lama, bermunculan perlawanan yang cukup serius dari “kalangan Islam” terhadap rezim Soekarno, seperti DI/TII dan PRRI/PERMESTA.
Begitu juga halnya di masa Orde Baru. Kondisi yang sama tetap berlanjut. Bahkan inilah masa yang paling suram bagi kalangan politisi Islam. Kala itu banyak diantara politisi Islam yang dikucilkan dan bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh Islam terpaksa mendekam dalam penjara sebagai tahan politik Orde Baru. Sementara sebagian yang lain – ada pula yang coba-coba atau setengah-setengah (inkonsisten) dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam – secara terpaksa tidak bisa berbuat apa-apa dengan membiarkan dirinya sebagai “kambing congek” saja.
Sedikit menjadi lebih baik, diskursus yang mengedepankan syariat Islam itu kembali terbuka diera reformasi. Suasana politik yang semakin demokratis, perlahan memberi peluang dan ruang gerak baru bagi kalangan politisi maupun Parpol Islam untuk kembali mengetengahkan pemberlakuan syariat Islam. Beberapa partai seperti PBB, PPP, PKS cukup gigih menegakkan Syariat Islam itu.
Sekalipun kenyataannya, apa yang diharapkan malah sangat jauh berbeda dengan realitas sesungguhnya. Justru alangkah disayangkan, ditengah realitas ummat Islam yang mayoritas, perolehan suara Parpol Islam dari dua kali pemilu yang terjadi di era reformasi tidak lebih dari 20 %.
Betapa ironis - karena paling tidak bisa dijadikan asumsi sementara, bahwa sesungguhnya banyak orang yang masih meragukan keseriusan Parpol Islam untuk memperjuangkan perberlakuan syariat Islam di negara ini. Apa lagi kalau melihat ketidaksiapan para politisi Islam secara konsep untuk memberlakuan syariat Islam ditengah-tengah ummatnya sendiri. Seperti yang sudah-sudah – gerakan seputar pemberlakuan syariat Islam - hanya sekedar “formalisme”. Semacam penyakit yang menghendaki semua harus serba disebut dengan label Islam, tanpa ada upaya mendalami lebih jauh tentang apa yang disebut Islam. Misalnya, ada yang disebut Islam tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, ada yang tidak disebut Islam justru sesuai dengan ajaran Islam. Sementara Islam itu sendiri – boleh jadi sama halnya dengan agama lain – justru lebih mementingkan isi ketimbang sebutan.

Syariat Islam : Baru Sebatas Formalisme
Dalam soal formalisme ini, mari kita cermati dengan seksama apa yang dikatakan oleh Syafii Ma’arif mantan ketua PP Muhammadiyah disebuah kesempatan di Padang. Beliau pernah mencurigai tuntutan pemberlakuan syariat Islam hanyalah sebagai “dagangan politik” bagi kalangan politisi Islam. Malahan Ia meragukan bila seluruh rakyat Indonesia, termasuk kalangan Islam itu sendiri setuju dengan pemberlakuan syariat Islam. Tegasnya, Syafii malah lebih yakin bahwa gagasan-gagasan politisi Islam itu akan kandas ditengah jalan, mengingat banyaknya kalangan politisi Islam itu sendiri yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara hanya sebagai basa-basi, slogan kosong, dan cerita-cerita bualan yang justru tidak difahami dan dihayatinya secara mendalam.
Begitu juga dengan Dahlan Danuraharjo, pendiri HMI dan tokoh Islam yang dulu dekat dengan Presiden Soekarno juga pernah mewanti-wanti, kalau diantara kalangan ummat Islam, bahkan kalau boleh disebut dikalangan pemimpin Islam yang persepsinya keliru tentang ajaran Islam. Mereka dihinggapi semacam “fixed idea”, yaitu apa yang dianggap perintah tapi perintah itu sebenarnya tidak ada, dalam hal ini Ia contohkan mengenai Negara Islam, sebenarnya tidak ada. Menurut Dahlan bahwa Al Qur’an atau Hadis tidak ada memerintahkan ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Terkecuali perintah mewujudkan negara yang adil dan makmur.
Dahlan juga mengingatkan, bahwa kekeliruan yang fatal jika memahami artikulasi wahyu sebagai ideologi. Pada hal wahyu itu adalah jauh lebih tinggi tingkatannya dari ideologi. Wahyu yang datangnya dari Allah, sementara ideologi hanya muncul dari pikiran manusia semata. Kekeliruan ini juga paralel dengan pemahaman yang salah tentang apa itu Islam, selain mungkin juga karena pemahaman yang kurang tepat mengenai apa itu ideologi.
Terlepas kedua pendapat diatas masih debatabel, akan tetapi fakta yang mempersepsikan Islam sama dengan Ideologi, sebagaimana banyak dianut oleh penggerak-penggerak dan para politisi dunia Islam (Ali Syariati, Malik Bin Nabi, dan Osama Bin Laden) sering membawa akibat yang parah bagi ummat Islam diberbagai belahan dunia. Seperti realitas ummat Islam yang mengenaskan di Aljazair, Irak, Iran, Libya, Bosnia, Afganistan, Palestina, Lebanon dan beberapa negara bekas Uni Soviet. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Hal mana konflik politik semacam ini sering kali menimbulkan persoalan yang pada akhirnya menemui kebuntuan, ibarat “jalan tak ada ujung”. Semacam konflik politik yang “tak kunjung berkesudahan”, demikian kampiun politik Deliar Noer pernah bilang.
Nampaknya kalangan ummat Islam sendiri selama ini hanya terlalu menitik beratkan kepada pemahaman aqidah dan ibadah saja. Sementara disisi lain masih amat kurang membawa ummat kepada pemahaman dan penghayatan akan ajaran-ajaran Islam dibidang kemasyarakatan dan kenegaraan yang menyeluruh (konprehensif). Dalam konteks ini, patut digaris bawahi, bahwa banyak kalangan pemimpin Islam yang hanyut dalam apa yang disebut formalisme, jargonisme dan sloganisme keagamaan yang sempit dan sentimentil. Paling-paling yang sering dikemukakan ialah bahwa orang yang mabuk harus dicambuk, yang mencuri dipotong tangannya, dan yang berzina dirajam.
Bila demikian halnya ; apakah semua ajaran Islam dibidang kehidupan bernegara hanya terdiri tiga hal itu saja - yang nota bone masih harus dikaji lebih jauh lagi. Lalu., apakah tiga perintah itu boleh dilaksanakan secara harpiah begitu ? Inilah beberapa pertanyaan yang signifikan untuk dijawab sendiri oleh kalangan ummat Islam dan parpol Islam. Terutama sekali beban ini ada dipundak kalangan pemimpin Islam, agar dalam upaya memberlakukan syariat Islam itu tidak melulu ditertawakan sebagai “formalisme” belaka.
Mungkin ada baiknya bagi kalangan politisi Islam, hendaknya memaknai dengan baik apa yang dikemukakan oleh Syafii Ma’arif, dimana ide-ide Negara Islam itu perlu didukung oleh kesiapan pengetahuan dan landasan sosial yang memadai. Apa lagi, mengingat ruang lingkup syariat Islam itu cukup luas dan kompleks – yang melingkupi segala bidang kehidupan manusia, seperti, ekonomi, sosial budaya, hukum dan politik.
Polemik ideologis yang berulang-ulang – katakanlah demikian – kedepannya diharapkan janganlah membawa kesuraman baru bagi kalangan ummat Islam. Sebab tidak dapat dipungkiri, sejarah juga mencatat dengan rapi berbagai kekerasan yang muncul sepanjang lintasan ini.
Sementara menyangkut tujuan yang subtantif untuk mencapai cita-cita negara yang utama, yakni mencapai masyarakat yang adil dan makmur tak pernah kunjung kesampaian. Entah kapan selesainya, yang jelas perjuangan itu tetap dihembuskan, sekalipun nyatanya sampai sekarang ini hasilnya belum menunjukkan perubahan yang signifkan. Dalam ungkapan Minang disebut “bak maeto kain sarung”. ***
Penulis adalah Dosen STIH Padang dan Pengurus DPW PBB Sumatera Barat









MASSA MENGAMBANG DAN GOMBALISME POLITIK ELITE


Fakta, Massa mengambang (floating mass) adalah konstituen partai yang tidak terikat sama sekali dengan stempel fungsionaris dan struktural partai. Kecenderungan floting mass ini hanya sekedar ikut-ikutan “meramaikan alek”, bukan kader, bukan pula suport sistem, karena cuma ikut trendi. Tingkat panatisme mereka terhadap partai sangat rendah. Lain halnya dengan kader partai yang secara ideologis sangat panatik dan taklik.
Lalu apa hubungan floating mass dengan gombalisme politik elite? Sebuah pertanyaan mudah, tapi bisa cukup rumit dijawab. Kedua hal tersebut diatas, baik floating mass maupun elite politik saling membutuhkan satu sama lainnya. “Ada semut ada gula” dimana ada massa disitu elite cari makan. Elite partai adalah ibarat kaum adam, status mereka perjaka tinting atau duda yang naksir kaum hawa yang masih gadis perawan.
Secara kenyatannya pengalaman mereka yang pemula tentu saja masih sangat minim, sekalipun ada diantaranya yang berprestasi dan mumpuni, yakni karena niat mereka yang lurus dan ihtiar yang kuat. Toh tetap saja, tidak sedikit diantara mereka itu, “besar pasak dari pada tiang”.
Kecantikan wajah dan kemolekan yang membaluti tubuh sang perawan menjadi rebutan para kaula Adam. Effeknya adalah sang Adam pun seolah tak mau kalah, mereka tak henti-hentinya bersolek saban hari, disetiap kesempatan dan momentum, menebar simpatik dan tabur pesona. Sang jejaka bagaimanapun juga adalah mahkluk liar yang cenderung mengaktifkan segala potensi yang dimilikinya untuk memancing simpati dan birahi sang hawa. Begitu juga halnya dengan elite politik, cenderung memanipulasi keadaan dan tebar pesona untuk menarik simpati sang target.
Dalam hal ini, pejuang yang masih bujangan tentunya tak lupa melakukan tipuan-tipuan untuk menjerat sang dara. Dengan kata lain, kecenderungan menghalalalkan segala cara, termasuk merayu, menggombal dan mengerahkan segala tipu-daya, mereka lakukan untuk mendapatkan target yang menjadi intaiannya. Begitu juga sebaliknya sang betina, menikmati sangat gombalisme yang ditawarkan kaum Adam, sekalipun mereka tahu kalau rayuan maut itu adalah “bisa” yang mematikan. Bahkan mereka nikmati sampai kepuncak birahi, biarpun ujung-ujungnya janji-janji itu hanya kepalsuan belaka.

Kesadaran Politik dan Partisipasi Politik
Di Indonesia partisipasi politik warganya cukup tinggi. Menurut penelitian tingkat partisipasi politik di Indonesia bisa mencapai angka 90 %, bahkan disebut-sebut sebagai yang tertinggi didunia. Bandingkan dengan Amerika Serikat sebagai negara yang dikenal kampium demokrasi, partisipasi rakyatnya hanya melibatkan 40 % warganya dalam setiap ajang pemilu.
Sungguh mengherankan dan mencengangkan kita, karena prameter untuk menilai kadar demokrasi itu sendiri masih menggunakan pradikma kesadaran politik maupun partisipasi politik. Justru anehnya dalam parakteknya di Indonesia secara kuantitas kesadaran politik dan partisipasi politik rakyat sangat menonjol. Entahlah secara kualitatif - penilaiannya - bisa jadi sangat relatif.
Memang kita sangat bangga dengan partisipasi politik rakyat Indonesia hingga hari ini, sekalipun secara kualitas kesadaran politik warga negara Indonesia itu masih berpeluang untuk dipertanyakan? Semuanya serba semu dan tidak terukur. Jadi susah menilai kesadaran politik rakyat secara kualitatif. Di musim pemilu, banyak aktivis mahasiswa, akademisi dan aktivis NGO lebih tertarik menjadi pemantau pemilu saja, mereka cenderung tidak memilih (golput) dan merasa tidak perlu terlibat dalam politik praktis. Mereka sangat takut dikatakan partisan, tidak netral atau tidak indeffenden. Ironisnya golongan ini dikatakan melek politik, memahami politik, bahkan mereka amat sering menjadi pegiat dan menjadi narasumber dalam kegiatan pendidikan politik rakyat (civic edicuation) yang biasanya dibiayai oleh luar negeri. Apakah mereka yang memposisikan diri demikian ini bisa dikatakan memiliki kesadaran politik?
Disisi lain, beberapa indikasi menunjukan, bahwa kesadaran politik elite berbeda dengan kesadaran politik awam. Kesadaran politik elite biasanya muncul karena mereka sendiri adalah politisi praktis. Sementara kesadaran politik floting mass hanya muncul secara sporadis, instan dan spontan, karena mereka hanya dijadikan objek politik disaat kampanye berlangsung. Sekaligus dijadikan objek rebutan para politisi untuk menyalurkan hasrat politiknya dengan cara mengumbar janji-janji, bujuk-rayu, ramantisme politik dan gombalisme politik.
Secara sosiologis, situasi politik rakyat tercermin dari prilaku politisi elite. Prilaku pemilih atau konstituen setali tiga uang dengan prilaku politisi elite. Bila politisi berprilaku absurt dan koruptif, maka kondisi rakyatnya juga tidak jauh berbeda. Kecenderungan dilapangan, dagangan yang laku dijual bukanlah program partai yang rasional, melainkan kemampuan mengartikulasikan dan mensinergikan nilai-nilai absurtisme dan materialisme ditengah-tengah masyarakat pemilih. Jargonisme dan doktrinisme masih cukup ampuh untuk diterapkan bagi masyarakat yang awam politik. Dengan kata lain, sepanjang floting mass itu masih hidup, maka jargonisme dan gombalisme masih perlu sebagai media politik praktis untuk memenangkan pemilu. Bahkan kebanyakan rakyat Indonesia, masih menikmati permainan manipulatif ini sampai sekarang. Sama halnya ketika wanita, tak bisa lepas dari kebutuhan untuk dicinta, disayang, dibuai, dipuji dan dirayu (tiga kata terakhir yang membuat sang dara menjadi terlena). Wallahu Allam.***






DERITA PETANI DI NEGERI “KOLAM SUSU”
Oleh : Fauzan Zakir

Fakta, Indonesia sejak dulu kala, sudah dikenal sebagai negeri pertanian yang subur. Negeri nyiur melambai yang dianugrahi Tuhan 1001 keelokan, sepotong surga yang diturunkan Tuhan dari langit, kaya suber daya alam dan bak kata pujangga, “gemah ripah loh jenawi”. Sehingga konon kemudian, hal ini juga yang membuat “raja-raja klana” berbetah-betah tinggal di negeri ini hingga berabad-abad lamanya.
Tapi ironisnya, petani sampai hari ini, justru menjerit kepedihan dinegeri yang katanya “kolam susu”. Seolah anugrah Ilahi yang terbentang di persada Indonesia ini, hanyalah angin sorga yang nompang lewat. Apa lagi dengan realitas terbuka diseluruh pelosok tanah air, petani-petani hidup dalam kondisi memprihatinkan, menggenaskan dan kemiskinan tiada tara.
Banyak petani Indonesia, ketika memilih jadi petani, membuat mereka risau dan berpikir dua kali. Sebab dengan memilih menjadi petani, mereka berarti siap menderita. Bahkan dalam kondisi sangat tertekan, mereka juga masih terhantui dengan harga pupuk yang mahal, kemungkinan gagal panen, puso, serangan hama, cuaca yang tidak kompromi, bencana alam sebagai akibat ulah manusia dan termasuk kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani.
Banyak sawah sekarang diplosok-plosok negeri dibiarkan saja terlantar oleh yang empunya, karena ongkos produksi bertani sawah lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yang murah membuat petani separo hati untuk menjadikan sawah-sawah mereka. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berarti mereka hendak mencari untung, tapi cuma sekedar mengisi hari-hari dan mencoba menghalau kegundahan yang menyelimuti mereka siang dan malam.
Kebijakan negara mengimpor beras untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental dan kinerja petani. Negara lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor beras ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailan maupun Vietnam dengan harga tinggi dilakukan dengan memakai dana APBN yang nota bone adalah juga merupakan uang rakyat, lalu kemudian di drop lagi ke pasaran melalui mekanisme subsidi dengan harga murah sekali.
Katanya supaya menjamin agar harga beras tetap stabil dan murah. Pada hal, bila harga beras petani memadai atau sesuai dengan harga standar Asean, maka Indonesia sebenarnya bisa ekspor beras dan swasembada beras. Sebab dengan harga yang baik, petani akan bergairah kembali mengerjakan sawah-sawahnya.
Tapi hal ini justru sebaliknya yang terjadi, negara yang dikenal agraris, kerjanya mengimpor beras. Harusnya sebagai negara agraris Indonesia konsisten mengekspor saja, atau meminimalisasi impor produk pertanian.
Tugas menteri perdagangan seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropik, karena keunggulan Indonesia secara komparatif hanyalah produk pertanian tropik. Sementara ekspor barang-barang lux, seperti elektronik, speda motor, mobil dan barang mewah lainnya tidaklah membawa perubahan bagi rakyat. Barang-barang lux cukuplah diimpor, sebab selama ini industri Indonesia hanya industri “tukang jahit”, atau dikenal dengan industri perakitan saja. Termasuk Industri pertaniannya, petani hanya menjadi buruh tani. Sementara tanah-tanah perkebunan yang subur ini secara de fakto sudah mayoritas dikuasai oleh modal asing. Buruh dan petani Indonesia hanya dimanfaatkan, yakni tujuan pasar (pangsa pasar) dan upah buruh yang amat kecil. Akibatnya, dengan upah yang kecil, maka buruh tani tak mampu beli beras dengan harga yang standar atau lebih baik.
Sebagai perbandingan nyata adalah Thailan sebagai negara yang konsekuen dibidang agraris, petani mereka sejahtera, bahkan dari ekspor produk pertaniannya, petani mereka bisa beli barang-barang mewah buatan eropa sekalipun. Negara mereka tidak perlu mengejar target sebagai negara industri baru di Asean, cukuplah mereka menjadi negara agraris saja dengan segala konsekuensi logisnya dan hanya fokus memodernisasi industri pertanian yang langsung menopang kehidupan petani mereka.
Entahlah, di negeri yang terus nestapa karena korupsi dan dililit utang, buruh dan abdi negara seperti PNS, TNI/POLRI digaji sangat murah, hingga tak mampu beli beras yang harganya sedikit saja memberi untung bagi petani. Demi melindungi 20% buruh murah dan abdi negara ini, maka pemerintah tega mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan segala-galanya kehidupan masyarakat tani yang mayoritas 80%.
Menjadi aneh sekali, di Indonesia petanilah yang mensubsidi rakyat secara keseluruhan. Betapa muliannya petani kita itu, karena melalui cucur-peluh mereka sadar atau tidak sadar, telah mensubsidi rata-rata Rp 1.500 per kilogramnya dari beras yang kita komsumsi. Sebab bila dicermati, ternyata ongkos produksi petani untuk menghasilkan beras perkilogramnya jauh lebih besar dari harga jual beras di pasar.
Sudahlah petani itu rugi karena subsidi pribadi mereka sendiri, mereka pun tidak bisa menjual hasil pertaniannya sedikit diatas ongkos produksi, bahkan sebenarnya sungguh aneh, karena subsidi negara justru yang menikmatinya adalah negara asal pengimpor yang tentu saja banyak mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yang dilakukan ketika membeli beras dan ketika mendrop beras kepasaran.
Bahkan sungguh laur biasa, praktek korupsi yang terjadi disekitar impor beras. Misalnya Bulog sebagai perpanjangan tangan negara membeli beras Rp. 5000 perkilogram, biasanya itu hanya tertulis dalam kuitansi, sementara bayarnya cuma Rp. 4500 perkilogram. Korupsinya berarti Rp. 500 perkilogram. Lalu kemudian didrop ke distributor-distributor besar dengan harga subsidi sebesar Rp. 3000. Sementara Bulog sekali lagi mendapatkan komisi dari daroping ini, karena diam-diam juga menerima pembayaran Rp. 200 perkilogram dari distributor.
Sementara pada akhirnya harga beras impor tersebut dijual dipasaran dengan harga berpluktuasi sekitar Rp. 3500 perkilogram. Dengan demikian harga gabah petani lokal pun terpaksa ikut-ikutan anjlok, karena secara normalnya seharusnya terjual Rp. 5000, terpaksa turun menjadi Rp. 3000 sampai Rp. 4000 perkilogram.
Sementara pembelian beras keluar negeri secara langsung juga adalah dari uang rakyat yang secara mekanisme adalah amanah yang dikelola oleh negara. Memang betapa malang nasib mu wahai petani. Dari segala sisi terkena keroyok Sepanjang masa meratapi nasib dan keberpihakan negara juga tak kunjung datang.***
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Unand dan Dosen STIH Padang

Tidak ada komentar: