Senin, 26 Mei 2008

IMAM AL-GAZALI : “Corak Tasawufnya dan Pengaruhnya dalam Tasawuf”
Oleh : Asrarulhaq Dt. Kari

Pendahuluan
Ajaran tasawuf muncul atau terinspirasi dari praktek-praktek kehidupan zuhud Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya. Pada abad ketiga Hijriyah dengan muncul gejala dekadensi moral, timbuk keinginan sebagian orang untuk kembali mempraktekkan cara-cara hidup yang dijalankan nabi dan para sahabatnya. Pada masa itu muncullah pembahasan tentang moral, yang pada akhirnya mendorong keinginan untuk semakin mengakji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang pada akhirnya berkembang menjadi salah satu corak tasawuf yang disebut juga dengan tasawuf akhlaki yang pada dfasarnya bersandarkan kepada al-qur’an dan sunnah.
Perkembangan tasawuf dari masa kemasa ditandai dengan bermunculan beberapa tokoh tasawuf yang menyajikan berbagai cara untuk mencapai tingkat tertinggi oleh sufi. Salah seorang tokohnya adalah imam al-gazali yang digelari dengan Hujjatul Islam karena karya-karyanya yang sangat banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan dunia Islam.

Imam Al-Gazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-gazali akrap dipanggil al-Gazali lahir di Thus, Persia, 450 H / 1058 M. Ayahnya adalah seorang tukang pintal (al-Gazzal) sehingga ia dinisbahi dengan al-Gazzali. Kota tempat kelahirannya adalah Ghazaleh, terletak didekat Thus…[1] Al-gazali juga dijuluki sebagai “Hujjatul Islam”[2]. Ia adalah seorang tokoh Islam yang memiliki reputasi ilmiah yang sangat membanggakan. Keahliannya banyak dikenal dalam dalam bidang ilmu fisika, ilmu kalam, tasawuf, dan logika, perdebatan sehingga ia pernah menjabat sebagai guru besar di Madsarah Nizhamiyyah pada Dinasti Saljuk.
Diwaktu kecil al-Gazali dan adiknya Ahmad dipelihara oleh seorang sufi, kawan dekat ayahnya. Setelah ia belajar beberapa lama dengan para ulama di kampungnya, ia pergi ke berbagai tempat untuk menlanjutkan pelajarannya sampai akhirnya ia berguru kepada imam al-Haramyn di Naisabur[3].
Perjalanan panjang al-Gazali dimulai dengan berguru kepada seorang sufi terkenal Yusuf al-Nassaj. Kemudian ia belajar kepada salah seorang faqih di Kota kelahirannya yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razakani. Lalu ia pergi ke jurjan dan belajar kepada imam Abu Nasr al-Isma’ili, setelah itu ia kembali ke Thus dan terus pergi ke Naisapur. Disini ia belajar kepada salah seorang teolog aliran asy’ariyah Abu al-Ma’ali al-Juwani yang bergelar Imam al-haramain. Setelah gurunya Imam al-Haramain wafat (478 H / 1058 M), al-Gazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama lebih kurang lima tahun. Di Mu’askar, ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana Perdana menteri Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan ini ia muncul sebagai ulama yang berpengetahuan luas sehingga pada tahun 484 H/ 1091 M, ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyyah Baghdad[4].
Selama periode Bagdad, al-Gazali menderita kegoncangan batin yang diakibatkan oleh keragu-raguan hatinya tentang pengetahuan yang hakiki. Di dalam hatinya selalu saja muncul pertanyaan “apakah pengetahuan yang hakiki itu, apakah ia diperoleh melalui indera atau melalui akal, ataukah dengan jalan lain”. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memaksanya untuk menyelidiki kebenaran pengetahuan manusia. Pertama-tama ia meragukan semua pengetahuan yang telah dicapai oleh manusia pada masanya. Akibat keragu-raguannya itu selama dua bulan ia seperti kaum Safsatah. Tetapi untunglah Allah SWT berkenan menyembuhkan penyakitnya[5].
Hal ini mengakibatkan al-Gazali mengambil keputusan untuk pergi ke Damaskus pada tahun 1905 M, disinilah ia menghabiskan waktu untuk merenung, membaca, dan menulis dengan memilih jalan tasawuf dalam penelusuran hidupnya. Selama 10 tahun al-Gazali berpindah-pindah dari Baghdad, thus, hamdan, dan Syiria. Disaat inilah beberapa karyanya seperti Mi’yar al-‘lmi dan Ihya ‘Ulumuddin[6].


Corak Tasawufnya
Secara umum ilmu tasawuf dibagi kepada dua jenis. Pertama tasawuf Sunni (akhlaqi) yang mengarah kepada teori-teori bentuk perilaku dan yang kedua tasawuf Falsafi yang mengarah kepada teori-teori yang lebih rumit dan membutuhkan pemahaman yang sangat mendalam.
Tasawuf merupakan pilihan al-Gazali setelah mengalami kegoncangan jiwa dan yang mengakibatkan ketidakberdayaannya, bahkan sampai tidak ada yang bisa mengobati, sehingga pada akhirnya penyakit tersebut diambil kembali oleh Allah SWT.
Sulaiman Dunya mengutip dalam bukunya Al-Haqiqat Pandangan Hidup al-Gazali, bahwa ketika al-Gazali kembali dari petualangan panjangnya, ia pun kembali diajak untuk mengajar di Naisabur, saat itu al-Gazali mengatakan “aku mengetahui, meski aku kembali untuk menyebarkan ilmu, aku bukanlah kembali. Sebab kembali adalah pengulangan terhadap apa yang telah lalu. Aku saat itu meraih ilmu dengan maksud meraih kedudukan, dan aku mengajak dengan perkataan serta perbuatan diriku, dan itulah target serta niatku. Adapun sekarang aku mengajar ilmu dan aku juga berusaha dengannya kedudukan ku bisa ditinggalkan, dan posisi serta kedudukanku bisa lenyap di hati muridku. Inilah yang menjadi target dan niatku dengan sepengetahuan Allah SWT kepadaku”[7]. Pernyataan ini menunjukkan bahwa setelah mengikuti jalan tasawuf Imam al-Gazali dapat mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya dan menyatakan bahwa kegelisahan yang selama ini ia rasakan adalah akibat dari kecintaanya kepada dunia. Sehingga ia lebih condong kepada corak tasawuf Sunni (akhlaqi) sebagaimana tergambar dalam kayra-karyanya.
Tasawuf Imam al-Gazali yang bercorak sunni ini berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang ditambah dengan doktrin Ahlusunnah wa al-Jama’ah. Ia menjauhkan paham tasawufnya dari paham ke Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Gazali benar-benar bercorak Islam[8].
Menurut al-Gazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta memebrsihkan diri dari moral yang tercela, sehingga qalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah serta selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian[9].
Al-Gazali mengatakan ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang sufi, yaitu: 1) Taubat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan ini melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertaubat. Taubat harus dilaksanakan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. 2) Sabar. Al-Gazaliu menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik dan daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat jahat.




Pengaruhnya Dalam Tasawuf
[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,1996
[2] Abdul Halim Mahmud, Qadiyah al-Tasawuf al-Minqis min Dhalat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1985)
[4] Imam al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin, penerjemah Mesir Thaib, (Medan Pustaka Indonesia, 1996), h. 5-6. lihat juga Asmaran AS, Penmgantar Studi Tasawuf (Edisi Revisi), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[6] Duski samad, Studi Tasawuf Sejarah Tokoh dan Pemikirannya, (Padang: IAIN “IB” Press, 1999)
[7] Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam al-Gazali, Surabaya: Pustaka Hikamah Perdana, 2002,
[8] Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam al-Gazali, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2002)
[9] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

moral dan religi dan ketransendenan yang ingin dibangun oleh al-Ghazalai tatakal ia mulai jenuh dengan filsafat. kejenuhan dalam dunia filsafat membuatnya bangkit dari ninan bobok filsafat. kegetiran dan keraguan akan kebenaran jalan filsafat membuat Al-Ghazali banting setir. meskipun banting setir Al-Ghazalai masih menggunakan metode filsafat dalam berbagai pemikirannya dan karyanya. hal ini memberi sinyal bahwa al-Ghazalai tidak seratus perseh keluar dari filsafat, tetapi mencoba meramu filsafat dan tasauf sebagai ruh filsafat menjadi dua hal yang saling menunjang dalam arti menuju hakekat kebenaran itu sendiri. meskipun ia anti kepada beberapa pemikiran filosof yang jelas latar belakang al-Ghazalai sebagai filosof tidak siran dari jiwanya yang selalu haus akan ilmu dan makna dibalik materi.